SEMIOTIKA SPIRITUAL DALAM KULINER TRADISI JAWA
Tradisi kuliner sudah menjadi bagian yang khas dan mewakili ciri etnis dan suku bangsa tertentu di Nusantara. Tidak saja dari sudut pandang materiil sebagai representasi boga namun juga mencitrakan karakter sosioantropologis dan spiritualita masyarakatnya. Dalam pandangan masyarakat Jawa yang senantiasa sarat dengan simbol-simbol dan pesan moral, maka peran beberapa kuliner yang hadir di setiap bagian prosesi ritual tertentu akan memiliki makna-makna penanda yang semiotis*.
*Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.
Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.
“Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Semiotik, -atau dalam istilah Roland Barthes ; semiologi-, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.
Beberapa kuliner tradisi yang cukup penting dalam keseharian masyarakat Jawa serta mengusung kearifan terpendam di antaranya adalah ;
NASI TUMPENG dan UBARAMPE
Pada umumnya, Nasi Tumpeng dibuat berkaitan dengan akan dilaksanakan suatu hajat yang diharapkan nantinya memperoleh berkah dan bimbingan kemudahan dari Tuhan YME hingga tercapai segala maksud yang dicita-citakan.
Bentuk Tumpeng yang mengerucut ke atas juga mengacu pada kata Tumpeng yang bermakna Tumuju ing pengeran atau menuju (ditujukan) kepada Allah. Bawang merah dengan kulitnya yang berlapis-lapis yang ditusuk lidi pada puncak tumpeng melambangkan lapisan-lapisan langit yang harus dilalui menuju ‘pengeran’ tadi.
Sedang di ujung lidi tertancap cabai merah –dalam bahasa Jawa ; lombok- mengacu pada bahasa Sanskrit-Jawa Kuno yaitu lumbu dapat dimaknai sebagai berlomba-lomba di jalan dan menuju Allah.
Kita dapat mengartikannya secara lazim sebagai bentuk pesan moral untuk fastabiq al khairaat.
Sedangkan berbagai masakan dan makanan yang menyertai nasi tumpeng tadi merupakan ubarampe atau pendamping yang melengkapi keseluruhan bagian penyajian Nasi Tumpeng. Ada ayam, kentang, urap sayur, kemangi dan lainnya. Makna ubarampe ini adalah keberagaman -baik muasal, sifat dan bentuknya- yang mewakili berbagai perbedaan duniawi namun senantiasa menuju satu maksud dan tujuan yang sama yakni ke hadirat Allah.
I N G K U N G
Adalah ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh tidak terpotong-potong (ingkung). Pada umumnya juga menjadi bagian dari sajian tumpeng. Melambangkan keutuhan maksud dan niat yang bulat dan paripurna.
Secara visual terlihat sebagai tubuh yang utuh dan telanjang (blaka). Suatu simbol tentang keterbukaan dan sekaligus kepapaan di hadapan Allah. Blaka Suta apa anane, terbuka apa adanya.
Tanpa embel-embel dan sesuatu yang disembunyikan dari setiap maksud. Tanpa gelaran dan lambang kederajatan duniawi, sebagai manusia yang lahir telanjang dan tak punya apapun selain yang dianugerahkan Allah semata.
LODEH KLUWIH dan SUKUN
Sayur lodeh, sayur yang dimasak dengan santan. Santan yang adalah sari perasan dari kelapa matang, melambangkan intisari dari suatu tujuan dan doa. Yakni esensi termurni yang telah melalui serangkaian proses pematangan.
Lodeh juga dapat diartikan sebagai ‘lodeh’ yang dalam bahasa Jawa berarti tinular (tersebarkan).
Adapun buah kluwih (Artocarpus camansi) sejenis sukun yang dibaut sayur lodeh bermakna dari kata kluwih itu sendiri. Yang diartikan sebagai keluwihan/linuwih yakni kelebihan dan keutamaan. Lodeh kluwih dimaksudkan sebagai bentuk kelebihan dan keutamaan yang di-lodehkan (ditularkan) pada lingkungan. Dengan kata lain, ketiap keutamaan dan kelebihan manusia harus memberi manfaat pada manusia dan lingkungan sekitarnya.
Pohon kluwih dengan bentuk daun yang menyerupai tangan manusia merupakan visualisasi manusia yang tengadah memanjatkan doa dan memohon keberkahan dan kemurahan Allah.
Bentuk daun kluwih ini juga sering kita jumpai pula di mustaka masjid-masjid kuno di Jawa. Maka kluwih juga merupakan simbol dari panjatan doa.
Kerabat dari kluwih yang lain adalah Sukun. Buah ini juga cukup popular bagi kita. Selain memiliki bentuk morfologis yang menyerupai kluwih, maka sukun juga dapat mewakili makna kata ‘sukun’ dalam konteks harakat (tanda baca) aksara arab. Sukun artinya tanda ‘mati’ untuk huruf yang menyandangnya. Ini mirip tanda baca ‘pangku’ dalam aksara Jawa. Makna semiotik sukun disini adalah kematian yang ‘diangkat’ (‘dimuliakan). Meninggalkan kehidupan jasadiyah dan mati dengan mulia (syahid) serta kembali kehadirat Allah.
Sayur lodeh ini pada umumnya sering digunakan sebagai bagian dari prosesi tolak bala. Yakni bentuk doa komunal untuk mengharapkan penghindaran dari musibah dan mara bencana. Di sini dimaksudkan sebentuk doa agar Allah berkenan menghindarkan umat dari bencana yang mengancam, dan kalaupun hal ini tak dapat terhindarkan atas kehendak Allah pula maka umat berharap untuk mati dan kembali kepada Allah dan diterima dalam keadaan mulia.
NASI KUNING
Dalam bahasa Jawa disebut sebagai sega kuning. Kata kuning bermakana kukuh lan wening. Yakni maksud permohonan yang kokoh dan bening. Hanya doa yang istiqamah dan tulus yang selayaknya dipanjatkan ke hadirat Allah. Sesuatu yang jujur dan berasal dari lubuk hati terdalam membawa kesucian dan niat baik merupakan intisari setiap permohonan yang akan dipanjatkan. Kuning, juga memberikan makna kukuh (kekokohan) dan wening (kebeningan kesucian hati) dalam menjalankan agama. Ngukuhi agomo suci secara tulus dari hati. Nasi kuning sebagaimana tumpeng, juga menjadi sajian dalam sebuah prosesi unjuk hajat.
KETAN, KOLAK dan APEM
Makanan dan masakan ini bukan sekadar kudapan atau sebagai dessert dalam seuatu jamuan. Sajian ini merupakan bagian penting dari kelengkapan prosesi doa dan unjuk hajat masyarakat Jawa.
Makna semiotik ketan, kolak dan ape mini diambil dari terminologi ketatabahasaan Arab. Yakni ketan yang dapat dirunutkan dari kata Arab khata’an (yang artinya ‘salah’ atau ‘kesalahan’/ kekhilafan), kemudian kolak dirunut dari kata Arab qaala (yang artinya ‘kata’ atau perkataan/ucapan), sedang apem dapat dirunut dari kata Arab ‘afw / ‘afwan (yang artinya ‘maaf’ atau ‘maafkan saya’). Jadi ‘paket’ masakan Ketan, Kolak dan (kue) Apem di sini dapat disrtikan sebagai ungkapan : “Jika terdapat kesalahan atau kehilafan yang saya lakukan, maka perkenankan saya
Biasanya isi hantaran tradisi megengan dalam tradisi ruwahan tidak meninggalkan ketiga jenis makanan ini…yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah: ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi, kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan dan apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan.
Bersumber dari http://psp.ugm.ac.id/ …. dalam tulisan Ary Budiyanto, pemerhati Budaya Islam Jawa. Mahasiswa S3 Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)-UGM, Yogyakarta.Staf Riset PSP UGM……..
Ruwahan di bulan Sya’ban (atau Ruwah) dalam budaya Islam Jawa adalah tradisi yang selalu dilaksanakan sepuluh hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan) menjelang.
André Möller dalam bukunya Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar(2005) mencatat dengan jelas bahwa ritus Jawa ini -yang selalu dituduh oleh kaum puritan sebagai satu dari banyak biang TBC (Tahyul, Bidah, Churafat) orang Islam Jawa- merupakan bentuk iman kesalehan individual dan kolektif.
Dievent ruwahan inilah sejumlah ritus digelar guna menyambut Ramadan: dari acara nisfu syaban, arak-arakan keliling kota, bersih desa yang diiringi slametan kecil lalu kenduren di malam harinya, kemudian esok paginya ziarah kubur, hingga berkahir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang Puasa.
Semua rangkaian acara ruwahan ini bertolak dari keimanan pada Tuhan agar dalam hidup ini mereka yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi) yang secara biologis adalah mengingat leluhur yang melahirkan kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang sementara (fana) seraya berdoa untuk mereka yang telah mendahului merupakan inti dari tradisi nyadran (ziarah kubur) di bulan Ruwah ini.
Ini adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh.
Adapun acara ritus bersih kampong, slametan, hingga kenduri serta megenganmeugang) adalah manifestasi dari paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (kirim-kirim hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging: (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.
.
.
.
[sumber: berbagai sumber & http://www.facebook.com/atl.lisan]