KABAYAN sebagai CERITA RAKYAT

JAWA Barat kaya akan tradisi kerakyatan, termasuk cerita rakyat. Meskipun tradisi istana pernah hidup di Jawa Barat, karena mengalami zaman dua kerajaan besar, yakni Galuh di daerah Ciamis dan Pajajaran di daerah Bogor, sedikit sekali ditemukan artefak-artefak budaya istana. Kerajaan-kerajaan Hinduistik di Jawa Barat lenyap bersama pendukungnya, yakni masyarakat istana. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian muncul di Jawa Barat tidak melanjutkan tradisi istana-istana sebelumnya. Kerajaan-kerajaan Islam itu adalah Banten dan Cirebon.

Banten dan Cirebon cenderung kejawa-jawaan akibat hubungan mereka dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi, apabila ditilik lebih dalam, masih akan tampak ciri-ciri kesundaan di kedua kerajaan Islam tersebut. Bagaimanapun kerajaan-kerajaan Islam tersebut masih berada di masyarakat Sunda sehingga tradisi lokal mendasari kebudayaan di kedua kerajaan tadi.

Tradisi kerakyatan masih terus hidup di bawah arus budaya-budaya istana yang silih berganti. Ini disebabkan sistem kerajaan-kerajaan di Jawa Barat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan-kerajaan Jawa berdasarkan masyarakat sawah, sedangkan kerajaan-kerajaan Sunda berdasarkan masyarakat huma. Kebudayaan istana di Jawa Barat hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat nagara. Di Jawa Barat tidak dikenal adanya negaragung dan mancanegara seperti di Jawa.

Masyarakat istana adalah masyarakat Sunda di negara itu, yakni istana dan wilayah yang benar-benar dikuasainya secara langsung. Hal ini bisa disimak dalam Babad Pakuan abad ke-18 yang ditulis dalam bentuk wawacan berbahasa Jawa. Saya telah menulis perkara ini dalam Hermeneutika Sunda. Di luar wilayah, nagara merupakan kesatuan-kesatuan kampung Sunda yang berpindah-pindah akibat hidup dari ladang padi (huma).

Sudah barang tentu pengaruh istana sampai juga di wilayah-wilayah kampung Sunda. Seperti kita saksikan bahwa teks-teks tertulis Sunda lama masih disimpan oleh penduduk perkampungan di Jawa Barat.

Selain itu carita-carita pantun yang berisi mitos-mitos istana Sunda masih tersebar di kalangan rakyat perdesaan. Hanya artefak-artefak istana sudah sulit ditemukan di kalangan rakyat, misalnya batik istana Sunda, seni ukir istana Sunda, buku-buku Hindu-Buddha, tata adat istana Sunda, dan seni gamelan, karena masyarakat istana-istana Sunda itu memang tidak berlanjut sebagai lembaga sosial.

Pemandangan semacam itu masih terlihat pula ketika di Jawa Barat berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Banten dan Cirebon. Kedua kerajaan itu juga terdiri dari wilayah negara atau negaragung saja. Wilayah mancanegara tidak dikenal. Apalagi bahasa di wilayah negara dan negaragung berbeda dengan bahasa masyarakat perdesaan Sunda.

Dengan demikian, semakin kuatlah kesan kita bahwa kebudayaan Sunda yang berkontinuitas itu hanya ada di kalangan masyarakat kampung. Berbeda dengan masyarakat Sunda di zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, yang hubungan antara istana dan rakyat amat tipis, maka di zaman penyebaran agama Islam di Jawa Barat, agen-agen perubahan ke arah Islam benar-benar keluar masuk kampung-kampung Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.

Tidak mengherankan apabila di kalangan masyarakat pedesaan Sunda, kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak mengenal zaman seperti itu. Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awalnya ada di Sunda. Sunda itu Islam.

Inilah sebabnya cerita-cerita rakyat Sunda amat kuat kesan keislamannya. Meskipun dalam cerita-cerita rakyat dikenal nama-nama dewa dan batara yang kehindu-hinduan, namun tidak dalam pemahaman bahwa itu berdasarkan agama Hindu-Buddha, tetapi Sunda semata-mata, Kebudayaan Hindu-Buddha-Sunda itu hanya dikenal di kalangan intelektual moderennya. Di kalangan rakyat, zaman Hindu itu adalah Sunda.

Lenyapnya ingatan kolektif terhadap kebudayaan Hindu-Sunda, lebih mirip dengan yang terjadi di Sumatra. Di zaman kejawaan Hindu-Buddha di Sumatra dikenal kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Jambi, Melayu, dan Tulang Bawang. Akan tetapi, begitu kerajaan-kerajaan maritim itu lenyap, maka lenyap pulalah masyarakat pendukungnya dalam arti lembaga. Manusia-manusia Buddha-Sumatra tentu saja masih terus ada, tetapi kemudian bercampur lebur dalam masyarakat luar istana. Ini disebabkan kerajaan-kerajaan maritim yang besar itu tidak memerlukan ladang atau sawah untuk mendukung keberadaannya. Mereka hanya butuh pelabuhan dan tentara sewaan (pegawai tentara) yang mampu menjaga kedaulatan negara kota maritimnya.

Sedangkan hubungan mereka dengan rakyat kampung hanya terbatas pada jual-beli atau pajak berupa hasil kebun rempah-rempah dan produk hutan yang lain.

Seperti di Sunda, Islam juga tertanam kuat di kalangan rakyat Sumatra. Kenangan mereka terhadap kejayaan Jambi dan Sriwijaya tidak ada, kecuali di lingkungan golongan terpelajarnya yang mengenal penggalian sejarah sarjana-sarjana kolonial. Dewa-dewa juga dikenal di kalangan rakyat Sumatra, namun tetap harus dibaca sebagai hal yang bersifat Melayu dan bukan Hindu-Buddha.

Keadaan yang berbeda terjadi di kalangan rakyat Jawa. Di lingkungan rakyat, dan lebih lebih istana, amat kuat kenangan kolektif mereka atas budaya Hindu-Buddha sebelumnya. Mereka menyebutnya sebagai agomo Buddho (agama Buddha). Hal ini disebabkan sistem kerajaan sawah mereka yang konsentris sejak awal. Hal ini pun dipermudah karena masyarakat sawah itu menetap. Kontinuitas budaya rakyat dan istana terus berlangsung, bahkan di kalangan rakyat cenderung berbudaya istana.

Tradisi budaya istana di Jawa Barat amat tipis di kalangan rakyat. Sebaliknya tradisi budaya rakyat perladangan amat kuat. Tradisi ini diwariskan secara lisan. Tradisi budaya lisan selalu auditif. Karena sifatnya auditif maka budaya ini hanya berkembang di kelompok komunitas terbatas. Dengan demikian sifat auditif mengembangkan relasi kekeluargaan (gemeinschaft), harmoni, partisipasi, menekankan kekonkretan dalam bentuknya yang sederhana. Komunikasi lisan semacam itu cenderung menyampaikan pesan-pesan komunal melalui bentuk cerita-cerita.

Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang. Usaha mengumpulkan jenis-jenis cerita rakyat tersebut masih sedikit dilakukan, apalagi peneelaahan serius atas cerita-cerita tersebut. Mitos dan legenda lokal tentu bersifat Sunda. Akan tetapi, cerita binatang sering berasal dari luar. Sedangkan cerita kehidupan rakyat sehari-hari banyak bersifat lokal, namun juga sering diadaptasi dari luar, seperti dalam cerita-cerita Si Kabayan.

Yang menarik adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering mengambil cerita-cerita luar, namun digarap dalam alam pikir masyarakat Sunda. Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera yang mirip dengan cerita-cerita kancil di Jawa, dalam tema mencuri hasil kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil ditangkap pak tani.

Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan putri pak tani yang cantik. Monyet bersedia bertukar tempat untuk menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang “mayat” monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali.

Dalam cerita yang sama, monyet itu tidak bebas. Akan tetapi, berhasil dipotong pak tani dan disate. Dalam cerita Sunda justru kedua binatang itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu kecerdasan, namun selalu saling bertemu kembali. Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda?

Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain saat begitu cerdasnya.

Nanti kalau kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.

Cerita-cerita Si Kabayan bodoh tidak begitu banyak. Kebodohan Kabayan dalam cerita-cerita semacam itu sering keterlaluan. Misalnya Kabayan tak bisa membedakan antara mayat dan manusia hidup, antara bayangan langit dan permukaan tanah di sawah.

Kebodohan Kabayan yang demikian itu ternyata simbolik rohani. Kita ini bodoh spiritual. Dalam hal ini, Si Kabayan bukan hanya jati diri Sunda, tetapi jati diri manusia itu sendiri.

Kesundaan Si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa dalam masyarakat Sunda cara hidup sehari-harinya semacam itu, seperti pergi ke sawah, ke huma, ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri, haji, salat, pohon tertentu, mandi di kali, dan lain-lain. Akan tetapi dalam alam pikiran dan sikap spiritual benar-benar untuk semua manusia, hanya kadang terselip kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, Si Kabayan memang menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan tetap universal.

Sebagai cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan Koja Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang hanya diwakili satu cerita.

Cerita Si Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja. Begitu pula Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita lebih. Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.

Sebagai cerita rakyat milik masyarakat Sunda, Si Kabayan memang istimewa, setara dengan pantun-pantun Sunda. Cerita-cerita itu amat dalam kalau ditafsirkan secara budaya. Cerita-cerita itu sama sekali bukan dongeng-dongeng seperti diperkirakan orang, namun tidak semua berkualitas demikian, sebab banyak para peniru Si Kabayan yang hanya melihat permukaan ceritanya.

Cerita-cerita yang demikian itu tidak serta merta membangkitkan adanya struktur-struktur berpikir simbolik. Sehingga banyak juga cerita-cerita Si Kabayan baru yang hanya tertarik pada segi humornya, namun tidak dilandasi oleh cara berpikir budayanya.

Mengapa istimewa?

Si Kabayan itu tokoh paradoks yang membangun cerita-cerita paradoks pula. Tokoh demikian itu jelas muncul dari pemikiran mendalam seorang (atau beberapa orang) intelektual. Bobot sastrawinya amat tinggi. Meskipun diceritakan secara lisan sehingga banyak ditambah dan dikurangi sesuai dengan perubahan masyarakatnya, inti pesannya masih amat jelas. Bahkan kita dapat merekonstruksi bentuk aslinya.

Permata itu tetap permata, meskipun berada di mulut kerbau. Dengan mudah kita dapat memilih mana Si Kabayan yang autentik dan mana Si Kabayan artifisial. Untuk menulis cerita Si Kabayan yang baru diperlukan dasar pengetahuan filsafat, bukan sekadar menulis cerita.

Cerita Si Kabayan itu memiliki dasar pandangan mistisisme dan laku mistis itu memang penuh paradoks. ***

* Jakob Sumardjo, Budayawan Sunda. Sumber: Pikiran

Orang Sunda terkenal dengan guyonan khasnya yang segar. Tak heran ada yang beranekdot bahwa SUNDA adalah kependekan dari SUka bercaNDA. Tokoh yang diidentikkan dengan masyarakat Jawa Barat pun adalah seorang pria jenaka bernama Kabayan. Cerita Kabayan ini begitu populer di ranah Pasundan, hingga dituangkan dalam berbagai karya, mulai dari novel, buku dongeng, komik, hingga film dan sinetron. Ciri khas dari Kabayan ini adalah dialog-dialog segar, kerap mengandung kritik sosial yang disampaikan dengan bahasa yang dekat dengan keseharian masyarakat Sunda. Dari cerita Kabayan ini pula muncul beberapa kata yang terangkat dan menjadi kosa kata baru bagi penggemarnya.

Beberapa kata populer dari cerita Kabayan antara lain :

1. Borokokok
Kata ini sering dilontarkan oleh Abah, ayah dari Nyi Iteung, kekasih Kabayan. Sebenarnya ini merupakan ungkapan rasa sentimennya terhadap Kabayan, yang kerap berlaku konyol sehingga terlihat pandir di mata Abah. Kata ini juga menjadi kata terpopuler yang identik dengan cerita Kabayan. Arti borokokok sendiri lebih mengarah pada sebutan “pandir” atau “si bodoh”

2. Ontohod dan Belekok
Sebutan ini kurang lebih sama dengan borokokok, namun mempunyai aura sarkasme yang lebih dalam. Hingga kini, kedua kata tersebut dianggap sebagai umpatan atau ungkapan kekesalan bila menghadapi seseorang yang dianggap berperilaku nyeleneh atau tidak sesuai dengan kebiasaan normal.

3. Eleuh eleuh
Kata ini seringkali keluar dari mulut Ambu, ibunda Nyi Iteung. Kurang lebih artinya mirip dengan “ya ampun” dan dilontarkan saat menghadapi sesuatu yang begitu tidak biasa atau justru kacau, sambil mengurut dada.

4. Saba Kota
Kata ini dijadikan salah satu bagian dari judul film Kabayan, artinya adalah “main ke kota”. Kata ini pun menjadi istilah cukup populer dan digunakan sebagai tajuk acara-acara yang berhubungan dengan Bandung atau sekedar untuk mengajak untuk berkunjung ke kota Bandung.

Kosakata ala Kabayan ini tidak hanya digunakan di ranah Pasundan saja, tetapi juga terkenal di Tanah Air bahkan kerap digunakan dalam dialog-dialog cerita atau karya lainnya. Selain kata-kata yang mengocok perut, banyak hal yang dapat kita ambil dari cerita Kabayan, seperti falsafah hidupnya yang selalu gembira, otak kritisnya dalam menyikapi lingkungan sekitar, membuat hidup lebih sederhana namun tetap berarti.

Si Kabayan Ngadeupaan Lincar

Si Kabayan jalma miskin taya kaboga. Di sakampung éta mah pangmalaratna baé meureun. Imahna teu béda ti saung butut. Ari pagawéanana, kitu wé buburuh ngoréd.

Béda deui jeung tatangga Si Kabayan, bandar munding anu kacida beungharna. Sawahna lega, kebonna puluhan héktar, imahna gé nya gedé nya agréng.

Sakali mangsa tatangga Si Kabayan téh hajat gedé, ngawinkeun anakna. Ondangana kacida lobana, boh ti nu jauh boh ti nu deukeut. Carék wiwilanganana salembur éta mah diondang kabéh, iwal Si Kabayan.

Si Kabayan jeung pamajikanana teu kira-kira waé nalangsaeunana. Tuluy waé Si Kabayan téh ngalaan baju, kencling indit ka pipir imah nu boga hajat, pék ngadeupaan lincar.

“Sadeupa, dua deupa, tilu deupa, …,” cenah.

Sémah kacida kagéteunana, nénjo kalakuan Si Kabayan kitu téh. Saréréa ngariung nénjokeun Si Kabayan ngadeupaan imah nu boga hajat.

Pribumi ogé norojol; barang ngadéngé rebut-ribut di luar téh, gancang kaluar. Ari rét ka Si Kabayan, manéhna ngajenghok, tuluy nanya ka Si Kabayan.

“Ku naon Kabayan, manéh téh ngadeupaan lincar? Bet éta jeung teu dibaju kitu, kawas budak waé.”

Témbal Si Kabayan, “Wah, mun kolot gé diondang.”

Nu boga hajat pohara éraeunana, rumasa ngabéda-béda jelema. Gancang waé nyarita.

“Kapan ti kamari gé diondang. Manéhna mah sok pohoan. Gancang balik, dibaju heula, engké ka dieu, sakalian bawa pamajikan,” kitu ceuk nu boga hajat téh.

Si Kabayan kacida atoheunana.

Si Kabayan Ngala Tutut

Cék Ninina, “Kabayan ulah héés beurang teuing, euweuh pisan gawé sia mah, ngala-ngala tutut atuh da ari nyatu mah kudu jeung lauk.”

Cék Si Kabayan, “Ka mana ngalana?”

Cék ninina, “Ka ditu ka sawah ranca, nu loba mah sok di sawah nu meunang ngagaru geura.

Léos Si Kabayan leumpang ka sawah nu meunang ngagaru. Di dinya katémbong tututna loba, lantaran caina hérang, jadi katémbong kabéh. Tututna pating golétak. Tapi barang diteges-teges ku Si Kabayan katémbong kalangkang langit dina cai. Manéhna ngarasa lewang neuleu sawah sakitu jerona. Padahal mah teu aya sajeungkal-jeungkal acan, siga jero sotéh kalangkang langit. Cék Si Kabayan dina jero pikirna, “Ambu-ambu, ieu sawah jero kabina-bina caina. Kumaha dialana éta tutut téh? Lamun nepi ka teu beunang, aing éra teuing ku Nini. Tapi éta tutut téh sok dialaan ku jalma. Ah, dék dileugeutan baé ku aing.”

Geus kitu mah Si Kabayan léos ngala leugeut. Barang geus meunang, dibeulitkeun kana nyéré, dijejeran ku awi panjang, sabab pikirna dék ti kajauhan baé ngala tutuna moal deukeut-deukeut sieun tikecebur. Si Kabayan ngadekul, ngaleugeutan tutut méh sapoé jeput, tapi teu aya beubeunanganana, ngan ukur hiji dua baé. Kitu ogé lain beunang ku leugeut, beunang sotéh lantaran ku kabeneran baé. Tutut keur calangap, talapokna katapelan ku leugeut tuluy nyakop jadi beunang. Lamun teu kitu mah luput moal beubeunangan pisan, sabab ari di jero cai mah éta leugeut téh teu daékeun napel, komo deui tutut mah da aya leuleueuran. Di imah ku ninina didagoan, geus ngala salam, séréh jeung konéng keur ngasakan tutut. Lantaran ambleng baé, tuluy disusul ku ninina ka sawah. Kasampak Si Kabayan keur ngaleugeutan tutut.

Cék ninina, “Na Kabayan, ngala tutut dileugeutan?”

Cék Si Kabayan, “Kumaha da sieun tikecebur, deuleu tuh sakitu jerona nepi ka katémbong langit.”

Ninina keuheuleun. Si Kabayan disuntrungkeun brus ancrub ka sawah.

Cék Si Kabayan, “Heheh él da déét.”

Tina Lima Abad Sastra Sunda.

Si Kabayan Moro Uncal

Isuk kénéh Si Kabayan jeung mitohana geus harudang, lantaran poé éta rayahat rék moro uncal.

Urang kampung geus saraged, maké calana sontog, samping dibeubeurkeun kana cangkéng, bedog panjang nyolégréng. Sawaréh marawa tumbak. Anjing ragég geus hayangeun geura ngudag boroan ka leuweung.

Nénjo batur saraged téh Si Kabayan mah teu ieuh kapangaruhan. Manéhna mah ngaléléké, maké sarung dikongkoyangkeun. Batur-batur marawa bedog, manéhna mah kalah mawa péso raut.

“Keur naon mawa péso raut, Kabayan?” tatanggana nanya.

“Keur nyisit uncal,” jawabna.

Nu rék moro laju indit. Tepi ka leuweung, der ngasruk. Anjing ragég ti kulon, ti kalér, ti wétan. Jalma-jalma pating corowok. Nu megat ayana di beulah kidul, lebah bubulak.

Ari Si Kabayan misahkeun manéh. Manéhna mah nangtung handapeun tangkal jambu batu bari tatanggahan, néangan jambu asak.

Keur tatanggahan, gorowok nu ngagero, “Pegaat…!”

Si Kabayan ngalieuk. Ari torojol téh ti jero rungkun, uncal jaluna. Tandukna ranggah.

Si Kabayan can nyahoeun uncal. Cék pangirana uncal téh sagedé anak embé. Nu matak barang nénjo sato nu siga kuda bari tandukan téh, ngan térékél wé manéhna naék kana tangkal jambu. Teu bisa luhur naékna téh da kagok ku sarung. Manéhna nangkod kana dahan panghandapna, sarungna ngoyondon.

Kabeneran uncal téh lumpat ka handapeunana pisan. Si Kabayan peureum, sieuneun kaparud ku tanduk uncal nu sakitu ranggahna.

Si kabayan teu kira-kira reuwaseunana barang karasa aya nu ngabedol ti handap. Ari diténjo horéng tanduk uncal téh meulit kana sarungna. Uncal ngarengkog, tuluy babadug hayang ngalésotkeun tandukna. Kadéngé ambekanan hos-hosan. Si Kabayan beuki pageuh muntangna, uncal beuki rosa ngamukna, tapi tandukna kalah beuki pageuh kabeulit ku sarung. Si Kabayan beuki geumpeur, sepa taya getihan.

“Tuluuuuung….tuluuunngg…., ieu aing ditubruk uncal…!” Si Kabayan gegeroan ménta tulung.

Teu lila burudul nu moro nyalampeurkeun. Nénjo uncal abrug-abrugahn téh, teu antaparah deui belewer wé ditumbak. Uncal ngajéngjéhé. Jekok-jekok pada ngadékan tepi ka rubuhna. Uncal ngajoprak. Si Kabayan gé ngalungsar gigireunana bari rénghap ranjug.

Nu ngariung uncal hélokeun.

“Kumaha ditéwakna ucal sakieu badagna, Kabayan?”

Si Kabayan nangtung lalaunan bari cungar-cengir., “Ah gampang. Uncal mengpengan ka handapeun tangkal jambu, ku kuring dipegat. Barang geus deukeut, dirungkup wéh tandukna ku sarung . Tuh geuning sarungna ogé tepi ka rangsak saroéh. Geus karungkup mah teu hésé, kari marieuskeun wé tandukna.”

Saréréa gogodeg. Ari Si Kabayan padamuji téh nyéréngéh wé bari ngusapan tuurna nu barared.

Uncal pada ngarecah. Si Kabayan ngajingjing pingping uncal bari heheotan.

(Tina Gapura Basa Jilid 2, Karya Drs. Hidayat Suryalaga, spk.)

Si Kabayan Ngala Roay

Dina hiji peuting Si Kabayan diajak ngala roay ku mitohana. Isukna, isuk-isuk bral ka haruma, rada jauh ti lemburna. Di jalan taya nu ngomong sakemék-kemék acan, sumawonna Si Kabayan da puguh tunduheun kénéh. Tuman héés nepi ka beurang, ari ieu isuk kénéh geus digugubrag dititah hudang.

“Teu kaharti ku mitoha,” ceuk dina pikirna, Sakitu geus kolot na aya kadedemes-kadedemes teuing kana dunya téh. Na keur naon dunya ari lain keur nyenangkeun awak? Ari ieu kalah jadi hukuman. Keun sia geura engké…”

Barang nepi ka huma pék ngala roay. Mitohana pohara getolna. Ari Si Kabayan mah meueus-meueus randeg, meueus-meueus janteng, teu kaur beubeunangan balas ngahuleng jeung ngarahuh bawaning sangeuk digawé. Siga-sigana mah rada mumuleun Si Kabayan téh.

Luak-lieuk, béh karérét karung wadah roay. Jol aya ingetan pikasenangeun. Gelenyu Si Kabayan imut.

“Mitoha! Mitoha!”

“Heuy!”

“Kula rék ka cai heula ieu mules beuteung. Bisi rada lila, dagoan nya! Ati-ati mun mitoha ninggalkeun!”

“Heug! Ulah lila teuing baé.”

“Kumaha engké wé, da kasakit mah ari datang kawas kilat, ari undur kundang iteuk.”

Bari ngomong téh mitohana tonggoy baé ngalaan roay teu luak-lieuk. Si Kabayan sup asup kana karung wadah roay. Awakna dipurungkutkeun bari ngareumpeukkan manéh ku roay nepi ka teu katémbong. Baca tuluyan ieu tulisan »

Si Kabayan Maling Nangka

Hiji poé Si Kabayan jalan-jalan. Manggih tangkal nangka di kebon batur. Nangkana geus aya nu asak. Si Kabayan kabitaeun. Atuh térékél wé naék kana tangkal nangka. Nangka nu geus asak téa diala, terus dipurak dina luhur tangkal. Keur kitu torojol nu bogana. Si Kabayan digebah.

“Hoyah, Si Kabayan maling nangka!”

“Henteu, da,” témbal Si Kabayan.

“Éta geutahna dina biwir, rapet?”

“Henteu, da diminyakan,” témbal Si Kabayan deui.

(Tina Lima Abad Sastra Sunda, karya Wahyu Wibisana, spk.)

Dimuat dina Carita Si Kabayan | 12 Pairan »

Si Kabayan Ngala Nangka

Si Kabayan dititah ngala nangka ku mitohana. “Nu kolot ngala nangka téh, Kabayan!” Ceuk mitohana. Kencling Si Kabayan ka kebon, nyorén bedog rék ngala nangka. Barang nepi ka kebon, Si Kabayan alak-ilik kana tangkal nangka. Manggih nu geus kolot hiji tur gedé pisan. Tuluy waé diala. Barang dipanggul kacida beuratna.

“Wah, moal kaduga yeuh mawana, “ pikir Si Kabayan téh. Tuluy wé nangka téh ku Si Kabayan dipalidkeun ka walungan. Jung waé balik ti heula, da geus kolot ieuh!” ceuk Si Kabayan téh nyarita ka nangka.

Barang tepi ka imah, Si Kabayan ditanya ku mitohana.

“Kabayan, meunang ngala nangka téh?”

“Komo wé meunang mah, nya gedé nya kolot,” témbal Si Kabayan.

“Mana atuh ayeuna nangkana?” Mitohana nanya.

“Har, naha can datang kitu? Apan tadi téh dipalidkeun dititah balik ti heula, ceuk Si Kabayan téh.

“Ari manéh, na mana bodo-bodo teuing. Moal enya nangka bisa balik sorangan!” Mitoha Si Kabayan keuheuleun pisan.

“Wah nu bodo mah nangkana, kolot-kolot teu nyaho jalan balik,” ceuk Si Kabayan bari ngaléos.

(Tina Lima Abad Sastra Sunda, karya Wahyu Wibisana, spk,)

.

.

.

[sumber: http://www.facebook.com/atl.lisan]