Renungan Pagi …
Kita Bukan Siapa-siapa
[ Edisi Muhasabah ]
“Berapa banyak orang yang kusut & berdebu, memakai pakaian yang lusuh yang mengundang perhatian, tetapi sekiranya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” (HR. Tirmidzi)
Sahabat …
Tak dipungkiri bahwa seiring dengan berjalannya waktu, paradigma manusia tentang nilai-nilai kehidupan pun juga terus berubah.
Hari ini …
Orang baik selalu diidentikkan dengan derma yang dilakukan dengan terang-terangan. Kesuksesan selalu diukur dengan popularitas. Kata sukses seolah hanya pantas disematkan pada mereka yang berulang kali muncul di TV karena telah melakukan ini dan itu. Kemasyhuran itu pun lantas melahirkan sifat angkuh, bangga diri, merasa bahwa diri telah berbuat banyak dan lebih dari orang lain.
Padahal …
Siapa pun kita, sejujurnya kita bukan siapa-siapa. Apalagi bila kita melihat kenyataan hidup yang ada. Dimana ada berjuta-juta orang baik yang sebelumnya tidak kita kenal, atau mungkin tidak akan pernah kita kenal selamanya karena mereka telah pergi membawa amal sholeh tanpa seorang pun yang mengenal mereka.
Karena memang mereka memilih untuk tidak dikenal.
Di antara mereka ada yang jauh lebih baik dari kita, lebih terhormat, lebih banyak kebijakannya, lebih luas ilmunya, dan juga lebih khusyuk penghambaannya, serta pengharapannya kepada Allah Azza wa Jalla.
Mereka selalu dipojokkan penduduk bumi, tetapi mereka mulia di sisi penduduk langit. Mereka mencintai pilihan hidup itu. Sebuah pilihan hidup yang juga dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang sembunyi-sembunyi, miskin, bertakwa, lagi suka berbuat kebajikan.”
Begitulah …
Jika mereka tidak ada, mereka tidak dicari orang.
Dan apabila mereka ada mereka tidak dikenali orang.
Sungguh …
Sebuah pilihan hidup yang sulit di tengah ramainya manusia yang mengejar ke-aku-annya dengan beragam cara.
Makna hidup yang mulia ini juga pernah diajarkan oleh Imam As-Syafi’i Rahimahullah dalam ucapannya yang masyhur, “Aku ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannya kepadaku. Agar aku diberi pahala karenanya dan mereka tidak memujiku.”
Kita perlu memahami dan memaknai lebih dalam tentang arti pentingnya prinsip hidup di atas agar kita selalu bersungguh-sungguh dalam menata diri dan meningkatkan kebajikan.
Tidak merasa cukup, merasa lebih baik dari orang lain.
Dan agar kita berhenti untuk mengukur kebaikan dengan kacamata sendiri.
Sebab esok di pengadilan Allah, barulah kita akan tahu apakah kita benar-benar baik atau tidak.
.
.
.
___________
Aku dan Diary-ku
Madinah, September 2012