JEJAK ANGKLUNG dalam KEBUDAYAAN BAMBU

[FOTO Kartu Pos 1929 AngklongSpelers (Garoet) by LIFE magazine
Foto aselinya hitam putih, oleh Life magazine diberi warna secara manual]

.

.

Abstract

At the present, angklung is one of bamboo musical instrument which linked very closely with Sundanese culture. Before popular as contemporary art instrument on 20th century, the trace of angklung had been known since the Hindu period that was used on rice harvest ceremony as the libation to the rice goddess, Nyai Pohaci; as accompanist of art performance; and as war spirit instrument in the military corps of Pajajaran Kingdom. Although bamboo culture also existed in other part of Indonesia and even Southeast Asia region, but according to the sources of 19th century, the term of angklung was tight referred to the Sundanese (musical) instrument. These working paper try to analyze the image of angklung development by observed the past and present sources.

Keywords: bamboo, angklung, and Sundanese culture

Pendahuluan

Dalam kebudayaan tradisional, kedudukan dan fungsi alat musik lazim lekat dengan nilai-nilai kepercayaan masyarakat pendukungnya. Meski, seiring perkembangan zaman, kedudukan dan fungsinya itu mengalami perubahan atau modifikasi akibat persentuhan dengan seni modern, namun hakikatnya bagi sebagian masyarakat lokal/adat tertentu, kedudukan dan fungsinya masih dipertahankan dan dijalankan.

Demikian juga yang dialami angklung. Instrumen musik bambu yang lekat citranya dengan kebudayaan Sunda di barat pulau Jawa itu setidaknya mengalami kesamaan fase perkembangan sebagaimana dikatakan Colin McPhee (1937: 323) dalam penelitiannya tentang kedudukan dan fungsi angklung gamelan di Bali, yaitu menyoal keberadaannya di masa lalu, masa sekarang, dan –di antara keduanya itu– masa peralihan. Perkembangan angklung dalam kebudayaan Sunda memang menghadirkan ketiga fase tersebut, jika menyimak keberadaan tradisi masa silam angklung dalam lingkungan masyarakat adat di Jawa Barat yang masih hidup saat ini, seiring persentuhannya dengan seni modern.

Namun, aksi pengklaiman angklung –sebagaimana banyak diberitakan media massa– oleh sebuah jiran beberapa tahun belakangan mengemuka dan menarik naluri kebudayaan elemen masyarakat Indonesia untuk mempertahankan identitas kebangsaannya. Namun, itu semua tentu butuh pembuktian. Maka itu, untuk mendudukkan persoalan angklung –bukan pembuktian atas dasar klaim, berarti mestilah menelaah akar masa lalu salah satu dari wujud budaya bambu ini.

Setidaknya, beberapa alat-alat musik tradisional, baik rupa maupun deskripsinya tergambarkan di relief-relief candi dan naskah-naskah kuno. Secara umum pun hubungan instrumen musik bambu dengan kebudayaan bambu, baik di Asia Tenggara maupun wilayah tertentu di Indonesia, menjadi penting untuk ditelusuri sejauh mana hubungan semua itu. Akhirnya dalam menyusun makalah ini, reportase-reportase berupa catatan perjalanan orang Eropa pada abad ke-19 menjadi penerang (per)jalan(an) angklung yang kini dikatakan sebagai milik kebudayaan orang Sunda itu.

Angklung dalam Universalitas Kebudayaan Bambu

Bambu merupakan varietas flora yang banyak dipakai dalam hidup keseharian masyarakat di Asia Tenggara, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga hiburan. Selain dilandasi kebutuhan hidup, kedudukan bambu sendiri dalam kehidupan masyarakat erat dengan mitos kesederhanaan, kemurnian, dan kesuburan.

Orang Vietnam memiliki kepercayaan, bahwa bambu adalah saudara mereka. Di Burma, terdapat kisah legenda seorang gadis kecil yang berasal dari tangkai bambu, lalu ia tumbuh dewasa menjadi seorang perawan cantik. Mitos bambu juga hidup di Filipina, kisah tentang asal-usul penciptaan laki-laki dan wanita pertama di dunia, Sikalak dan Sikabayan.

Mereka lahir dari batang bambu yang ditanam di taman surga oleh Dewa Kaptan. Mereka ditanam untuk merawat taman surga tersebut. Namun, mereka jatuh cinta selagi Dewa Kaptan pergi melakukan perjalanan. Sikabay, si wanita, khawatir mereka tidak dapat menikah karena ikatan saudara; akhirnya mereka pun meminta saran pada ikan tuna, burung merpati, dan bumi. Penyaran terakhir mengatakan bahwa “dunia haruslah dihuni manusia,” maka mewujudlah mereka menjadi manusia, dan akhirnya mereka pun menikah, hatta menetap di bumi (Piper, 1992: 62-64).

Legenda-legenda yang mengaitkan sosok wanita dalam mitos bambu, serupa dengan kisah dalam kepercayaan Hindu, tentang pernikahan seorang wanita dari kasta bangsawan bernama Murala dengan seorang pria yang berkasta lebih rendah dari dirinya. Merasa tertipu dan kecewa dengan ketidaksetaraan kasta tersebut, Murala lalu memanjatkan doa kepada Dewa Wishnu. Setelah mendapatkan jawaban atas doanya itu, Murala mendaki tumpukan kayu bakar, lalu membakar dirinya. Bambu pertama dimitoskan tumbuh dari tebaran abu kremasi Murala itu.

Mengapa dalam mitos bambu sosok wanita banyak dikaitkan di dalamnya? Hal paling mendasar menyangkut ini adalah hubungan wanita dengan mitos kesuburan. Mitos ini banyak didapati dalam kebudayaan agraris di Asia Tenggara. Sebagai wujud pemujaan terhadap wanita sebagai simbol kesuburan itu, maka bambu menjadi penandanya.

Dalam kebudayaan Sunda yang berbudaya agraris dengan sumber pangan pokok padi (pare), hubungan bambu dengan mitos kesuburan itu pun hidup. Di daerah-daerah yang warganya bertani, lahan-lahan pertanian ada yang disisihkan sebagian untuk ditanam bambu. Mitos terhadap Nyai Pohaci sebagai lambang dewi padi, hidup di tengah-tengah masyarakat adat Sunda.

Untuk menolak bala (nyinglar) hama dalam kegiatan mengolah lahan pertanian di sawah dan huma, orang Sunda lama mencipta syair dan lagu sebagai persembahan terhadap Nyai Pohaci. Syair-syair itu dalam perkembangannya disertai tumbukan bunyi antarbatang bambu yang dibuat untuk Nyai Pohaci, sebagai perlambang dewi kesuburan.

Tumbukan bunyi antarbatang bambu itu dilakukan sebagai ritus panen padi di huma (ladang) sebagaimana dilakukan di masyarakat adat Kanekes, Baduy (Admadibrata dkk, 2006: 4). Dalam tradisi macam demikian, alat musik bernama angklung kerap diasosiasikan untuk digunakan dalam ritual panen beras (Piper, 1989: 68). Misalnya di Banten Selatan, orang-orang Baduy memiliki kebiasaan menggoyangkan tiga atau empat angklung ketika menyelesaikan pekerjaan huma sérang, seperti menyucikan lahan yang dapat ditanami pada saat festival kawalu (Kunst, 1973: 363).

Orang-orang di pulau Jawa mengatakan bahwa ide lahirnya alat musik bambu pertama seperti angklung, terjadi secara kebetulan ketika udara/angin masuk ke dalam sebuah tabung bambu; merujuk pada pernyataan Thomas Stamford Raffles (1817: 528): “The Javans say the first music of which they have an idea was produced by the accidental admission of the air into a bamboo tube, which was left hanging on a tree…”.

Senada dengan Raffles, John Crawfurd (1820: 333-334) yang mengatakan bahwa angklung adalah alat musik yang dihasilkan dari dorongan angin paling pertama yang terdapat di wilayah pegunungan Jawa, khususnya didapati di barat pulau Jawa. Angklung dikatakan McPhee (1937: 322) –dengan mendukung pernyataan Raffles (1817: 528)– merupakan penyempurnaan dari alat musik Æolia.

Sebagaimana dinyatakan para pengamat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tersebut, seperti halnya di Jawa, angin di Asia Tenggara pada umumnya memang memberikan inspirasi untuk merancang bambu dapat dimainkan sebagai alat musik. B

eberapa pelancong Eropa pada abad ke-19 menerangkan bunyi-bunyian dalam batang bambu yang mereka dengar begitu halus, selain itu terdengar begitu dalam seperti suara organ setelah batang-batang bambu itu dilubangi celahnya dan kemudian digabungkan; dari tiap-tiap batang bambu yang dimainkan itu, dihasikan 14 hingga 20 irama. Bambu-bambu yang dilubangi –dan kemudian dikenal orang Eropa sebagai angklung itu– suatu ketika pernah dimainkan secara resmi di istana Gubernur Jendral di tengah Kebun Raya Bogor (Piper, 1989: 68).

Beberapa kelompok angklung itu dibuat berdasarkan bentuk batang yang dapat menghasilkan resonansi suara yang bagus. Instrumen itu dipukul/dikocok. Taylor (1989: 38) menjelaskan bahwa suara yang dihasilkan bergantung, baik karena diameter batang bambu yang digunakan dan ketebalannya maupun panjang tabung udara yang melingkunginya.

Tabung bambu itu umumnya terdiri dari dua atau tiga yang dikerangkai kayu, sehingga dapat digoyang/dikocok dengan tangan dan menghasilkan sejenis derikan. Setiap angklung hanya menghasilkan satu nada dasar, dengan irama berbeda antartabungnya dan setiap pemain memainkan sebuah atau dua instrumen (satu di masing-masing tangan). Sebuah orkestra dengan instrumen angklung yang berbeda dapat menghasilkan kompleksitas musikal menggunakan peniruan simfoni bunyi Barat.

Apabila merujuk pada gambaran angklung di Hindia (baca: Indonesia masa kolonial), sebagai salah satu pembanding, mestilah disimak juga sebuah laporan seorang Inggris bernama Henry Yule yang melancong di Burma pada medio abad ke-19. Yule (1858: 37) mengamati sebuah orkes musik di Burma, yang memainkan beberapa anak genta/lonceng dari batang bambu terpisah dan menghasilkan suara begitu baik. Perkusi bambu ini dikatakan Piper (1989: 68) agak mirip dengan harpa yahudi (jews harp).

Maka itu, alat musik bambu di Asia Tenggara sebenarnya boleh dikatakan memiliki kesamaan ciri dan bentuk. Angklung –selain sekian jenis alat musik bambu seperti calung, suling, celempong– boleh dibilang memiliki kedekatan dengan jenis-jenis yang ada di wilayah lainnya –bahkan di Malaysia dan Thailand. Meski begitu, sebutan angklung sendiri berdasarkan sumber-sumber tertulis pada masa abad ke-19, begitu lekat pencitraannya sebagai kebudayaan orang Sunda.

Walaupun dikatakan lekat, J. Kunst (1971: 361) justru mengatakan bahwa instrumen angklung pada perkembangannya tersebar di seluruh wilayah Jawa, Madura dan Bali, juga sebagian Sumatra dan Kalimantan . Meski angklung secara umum pada mulanya –sebagaimana dikatakan Raffles dan Crawfurd– terdapat di wilayah-wilayah pegunungan Sunda, namun berdasarkan alasan tersebarnya angklung di wilayah lainnya, Kunst mengatakan tidak tepat secara tipikal untuk menyebutnya sebagai instrumen musik Sunda. Sebab, alasannya, angklung dilaporkan juga ada di Banyumas, Cirebon, Brebes, Purbalingga, Trenggalek, Tulungagung, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, Surabaya, dan Purbalingga. Secara sporadik, angklung telah menyebar luas di pulau Jawa.

Melacak Jejak Angklung
Meski lekat pencitraannya dengan kebudayaan Sunda, keterangan seputar asal-usul alat musik angklung di Jawa Barat sebelum abad ke-19 tidaklah begitu jelas. Dari segi bahasa, kata angklung menurut ahli karawitan Bali, I Wayan Rembauh (dalam Sopandi dkk, 1987: 64) berasal dari kata ‘angka’ yang berarti nada, dan ‘lung’ yang maksudnya ‘patah’ atau ‘hilang’. Maksud dari gabungan dua kata ini adalah “ada nada yang hilang.”

Nada-nada pada angklung di Baduy yang terdiri dari empat rumpung (bilah [kingking, panempas, jongjrong, dan gonggong]) membuktikan makna tersebut . Versi lainnya menyebutkan asal kata angklung adalah angkleung, sebutan terhadap “suatu benda yang terapung-apung di atas air”. Ini adalah kias untuk memaknai gerakan-gerakan angklung yang sedang dibunyikan ibarat terapung-apung di atas air. Gerak-gerak angklung yang dibawa para pemain dalam upacara helaran (pawai) seperti “angkleung-angkleungan” (terapung-apung).

Jika itu menyoal ketidakpastian etimologi, maka dalam hal riwayatnya, etno-musikolog, J. Kunst (1936: 814) dalam penelitiannya berasumsi bahwa alat musik dari bambu –secara umum– yang ada di Indonesia berasal dari masa pra-Hindu. Kemungkinan permulaannya erat terkait dengan masa sebelum Masehi ketika terjadi migrasi manusia dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku bangsa Melayu-Polinesia.

Terkait migrasi manusia tersebut, dalam ranah arkeologi, beberapa di antaranya memberikan informasi penting, bahwa temuan di Indonesia memiliki keserupaan dengan kebudayaan Dongson purba (Vietnam). Seperti halnya temuan prasejarah di wilayah Banten, Bogor, Cianjur, dan Cirebon ca. 300 SM. Di samping ditemukan peralatan musik berupa gendang belangga (kettle drums) serta alat musik dari kerang dan tanduk, agaknya tanaman bambu yang tumbuh liar dimanfaatkan juga sebagai material alat musik (Kartomi, 1985: 6).

Kunst (dalam van Zanten, 1989: 81) membahas perkembangan alat musik pada masa Hindu yang tampak dalam relief candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kecuali kacapi, suling, dan rebab, dari keseluruhan gambaran yang ada dalam relief tersebut, begitu sedikit diketahui adanya yang menurunkan alat musik di Jawa Barat pada masa kemudian, terlebih tidak ada sama sekali jejak angklung.

Terkait hal tersebut, ada hal menarik ketika membaca sebuah hasil penelitian Roosenani Kusumastuti (1981), Alat Musik pada Relief Candi Borobudur, dengan fokus risetnya yang banyak terfokus pada lapisan kaki candi (Karmawibhangga). Lapisan tersebut memuat 160 relief, di antaranya alat-alat musik. Namun, dalam pengamatannya tidak ada banyak petunjuk mengenai angklung, alat musik bambu yang terpindai hanyalah suling dan gambang. Tulisan Jaap Kunst, Over Toonschalen en Instrumenten van West-Java (1923: 28) yang juga dipakai dalam riset Kusumastuti tersebut pun memang menunjukkan demikian, bahwa dalam salah satu satu relief candi terdapat gambaran fisik berupa alat musik hibrid dari bambu dan kayu yang disebutnya “tjaloeng-gambang”.

Apabila itu dalam gambaran relief, terdapat juga informasi seputar keberadaan angklung dalam naskah-naskah masa Hindu yang meski tidak begitu banyak, namun menunjukkan kejelasan keberadaan dan fungsinya pada masa Hindu. Dalam De Gamelan te Jogjakarta, J. Groneman (dalam Wiramiharja, 1989) mengatakan bahwa angklung telah ada pada masa kebudayaan Hindu bekembang di Nusantara.

Bukti paling tua, merujuk pada riset Pieter Eduard Johannes Ferdinandus (1999: 314), terdapat dalam Prasasti Bebetin berangka tahun 818 Saka (896 M) yang menyebutkan bahwa pembayaran pajak bangunan suci salah satunya dikenakan terhadap pabunjing (pemain angklung bambu). Keterangan lainnya terdapat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI, 1921: 25, jilid 3) dengan entri Soendanezen, Oerang Soenda, Orang Soenda of Orang Goenoeng, dikatakan bahwa angklung adalah alat musik yang ada dan digunakan di kerajaan Hindu Pajajaran.

Dalam entri Muziek en Muziekinstrumenten (ENI, 1918: 821) dikatakan angklung sebagai penyemangat dalam “barisan Padjadjaran” (sic.) dan pada tahun berangka 1486 Sangkálá, diberitakan angkloeng (sic.) dipakai sebagai pengiring wajang-běběr gědog. Selain itu, dalam Serat Cebolang, kata angklung pun disinggung sebagai instrumen, ketika Mas Cebolang mempertunjukkan keahliannya menyanyi dan bermain musik di depan Bupati Dhaha, Kediri (Wiramiharja, 1989).

Informasi-informasi tersebut jika ditarik sebuah benang merah mencitrakan fungsi angklung, di samping sebagai alat musik ritual dalam tradisi ladang, dalam riwayat awalnya digunakan untuk memompa semangat pasukan militer kerajaan Pajajaran; dan sebagai pengiring sebuah perhélatan kesenian. Adapun seperti apa wujud dan keterangan permainan angklung itu sendiri tidak ditemukan kejelasan yang memuaskan.

Entah apa yang melandasi ketidakjelasan jejak angklung ini. Namun ada hal yang menarik jika mengaitkannya dengan larangan atau tabu untuk memainkan dalam kepercayaan/mitos masyarakat Sunda. Salah satu buktinya adalah laporan Baron van Hoevell (1845: 420-21), ketika dirinya menceritakan mitos yang berkembang di Priangan hingga abad ke-19, tentang barangsiapa pemain angklung yang melanggar tabu, kelak saat mati ia akan berubah menjadi seekor kadal besar.

Hoevell menuturkan sisindiran yang berbunyi: “kaduhung jadi pangangklung//ari paeh jadi bayawak” (kepalang menjadi pemain angklung, (karena) jika mati kelak mati menjadi kadal). Sisindiran menjadi hewan ini semacam kiasan betapa jeleknya citra sebagai pemain angklung. Orang-orang di Gunung Padang, Cianjur, mempercayai mitos bahwa jika ingin menjual jiwa dengan jalan sebagai pemain alat musik ini, ada dua pilihan untuk: mati wajar sebagai manusia dan/atau mati tidak wajar menjadi (seperti) hewan.

Selebihnya hingga setelah masa Hindu, disebutkan keterangan dalam ENI (1918: 821), bahwa alat musik bernama angklung itu tidak diketahui hingga masa abad ke-18 dan –terutama– abad ke-19 ketika dikenalnya alat musik pukul bernama angklung. Di beberapa wilayah di Pulau Jawa istilah angklung dipakai, namun wujud dan teknik permainannya amat berbeda. Di Jawa Timur, istilah angklung berarti merujuk pada gamelan berupa bonang dan sarong. Namun di Jawa Barat, terutama di Banten dan Priangan, angklung merupakan instrumen bambu yang dikocok/digoyang.

Meski beberapa instrumen yang ada di tengah dan timur pulau Jawa ada yang memberikan pengaruh bagi instrumen musik di Jawa Barat –atau sebaliknya, karakternya dikatakan Kunst (1973: 286):

“The Sundanese racial character is less complex, less stylized, more open and a little more rustic than the Javanese. In accordance with this, music in the Sunda districts is, generally speaking, simpler of construction, and the orchestras are less comprehensive”

Alasan tidak banyaknya pengaruh seni musik Jawa di Tatar Sunda, tampaknya dilandasi tidak berhasilnya pengaruh budaya keraton masuk ke wilayah kerajaan Taruma, Galuh, hingga masa Pajajaran. Dengan demikian, seni musik Jawa tidak populer di Tatar Sunda. Karakter yang dikatakan Kunst kurang menyesuaikan mode, lebih terbuka dan agak “dusun” daripada alat musik Jawa, justru menunjukkan kemiripannya dengan (alat) musik Bali. Dalam Angkloeng Gamelans in Bali, Colin McPhee (1937: 322) dengan merujuk Raffles (1817: 528) mengatakan ada kesamaan bentuk angklung di wilayah Sunda dengan yang ada di Bali. Namun, bagaimana kesamaan atau hubungan kultural ini bisa terjadi, masih menjadi tanda tanya.

Evolusi Angklung
“…wier krijgsmuziek die van de angkloeng was,
gevaarlijk werd geacht voor een rustig bestuur
en anleiding was”
(ENI, 1918: 821)

Jika meréka kembali laporan van Hoëvell, ada yang menarik sekaligus menggelitik nalar apabila mengaitkannya dengan fungsi angklung itu sendiri sebagai penyemangat perang sejak masa kerajaan Hindu-Pajajaran, bagi mereka “barisan Pajajaran”. Namun, pada masa kolonial, di Jawa, angklung dilarang dimainkan. Alasannya untuk meredam ancaman pemberontakan (Piper, 1989: 68). Sehingga dikatakan dalam kutipan di atas, angklung mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintahan Hindia Belanda.

Barangkali, sisindiran yang dikatakan van Hoëvell, sebentuk konstruksi yang dilestarikan pemerintah untuk menabukan angklung agar tidak dimainkan dalam ruang-ruang sosial. Dalam majalah Indie (1917: 330), angklung di Priangan, bahkan dikatakan: “En qeen wonder: de angkloeng is militaire muziek” (dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer). Senada dengan itu, dalam majalah majalah D’Orient (1938) dikatakan: over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heeft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (pada umumnya musik Angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulkan semangat perjuangan dan mistik).

Menjadi jelas keterangan-keterangan berdasarkan pengamatan tersebut. Dan, jika merujuk pada penilaian tersebut tidaklah heran jika pada medio pertama abad ke-19 ketika masa Cultuurstelsel (tanampaksa), pemerintah Hindia Belanda melarang permainan angklung. Alasannya, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah jajahan. Namun, dalam larangan itu permainan angklung dikecualikan bagi anak-anak dan pengemis/pengamen, dengan alasan –barangkali– dianggap tidak menimbulkan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintahan jajahan Belanda. Sejak itulah Angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan alias mengamen (Wiramiharja, 1989).

Kondisi ini hingga akhir abad ke-19, memendam jejak angklung tradisi ditambah kondisi kepercayaan masyarakat lokal. Salah satu contohnya, berdasarkan laporan Royal Batavia Society (1893) mengenai kondisi Banten pada 1875, di antaranya disinggung perihal begitu memprihatinkannya perhatian atas alat musik bambu.

Pada 1875 dilaporkan berdirinya sebuah “Komedie Jawa” (kelompok sandiwara) yang didirikan Bupati Serang, Raden Adipati Sutadiningrat. Sandiwara yang ditampilkan seperti kisah 1001 Malam dan Abu Nawas diiringi alat musik Jawa, gamelan. Pada 1878, van Gorkom, seorang kepala inspektur, ketika melakukan perjalanan di Banten menyampaikan informasi tambahan, bahwa gamelan sebagai iringan sandiwara itu pun hanya dimainkan selain hari Jum’at, dan ditabukan untuk dimainkan ketika Kamis sore hingga Jum’at sore; sejak 1-15 Mulud; dan selama bulan puasa (Ramadhan).

Dimaksudkan untuk tidak melanggar norma tersebut, dengan alasan sebagai pengisi waktu luang orang-orang di Banten Selatan, maka Bupati Banten mengganti gamelan dengan instrumen berupa calung, beberapa angklung, sebuah suling, dan sebuah bedug untuk kemudian dimasukkan dalam komedi tersebut menggantikan gamelan. Penggantian instrumen-instrumen itu dilandasi larangan pada waktu-waktu tertentu memainkan dan mendengarkan gamelan bagi orang-orang Islam di Desa Cimanuk, Desa Kasuniaten, dan Kampung Kupluk di Menes yang membenci musik gamelan (Kunst, 1973: 289-290).

Sejak akhir abad ke-19, mulailah muncul transisi sifat dan fungsi angklung dari mulanya sebagai tradisi (sakral dan militer) menjadi alat musik pertunjukan rakyat, seperti reog atau ogel. Awal abad ke-20, kesadaran berkesenian bermunculan. Dalam De Inheemse Muziek en de Zending (1947: 25-26), J. Kunst menyinggung sosok Radén Machjar Angga Koesoemadinata, seorang guru di Sumedang yang mengembangkan (alat) musik rakyat yang disesuaikan dengan nada-nada Barat, seperti dipakai untuk mengiringi kegiatan-kegiatan zending.

Koesoemadinata-lah yang mengatakan bahwa: “huruf musik ‘da mi na ti la’ itu kami tjiptakan dahulu pada th. 1923…” sebagai ketidakcocokannya menilai perangkat nada Eropa “do re mi fa so la ti” untuk digunakan dalam perangkat nada alat musik Indonesia (Kusumadinata, 1951: 27 – 29). Dalam sembilan tahun (1933 – 1942) dikatakan Koesoemadinata (1951: 29) bahwa bahwa da mi na ti la ini telah tersebar di Jawa Barat. Mudahnya penyebarannya ini dikatakan karena mudah dipelajari guru-guru untuk kemudian diajarkan ke anak-anak didiknya.

Pada 8 Desember 1951, satu rombongan anak-anak sekolah yang dinamakan “Angklung Asli” dari Bandung mendapat undangan untuk melakukan pementasan di Jakarta. A. Suparman yang membuat laporan pementasan rombongan ini mengatakan tentang orkestra angklung yang memukau audiensi: “untuk melatihnja sebagaimana Angklung Modern setjara Barat, memakai not hanja jang dipakainja jaitu sistim da mi na ti la tjiptaan Pak R.M.A. Kusumadinata dengan memakai laras Pelog dan Salendro…” (Budaja, No. 25 1951: 44).

Nama Koesoemadinata pada medio pertama abad ke-20 memang dikenal sebagai penggagas teknik penyesuaian nada ciptaannya –yang dikatakannya asli Indonesia ini– untuk perangkat musik tradisional seperti angklung. Namun, selain dan semasa era Koesoemadinata, pada masa menjelang Pendudukan Jepang, angklung juga sebenarnya mengalami perkembangan penting di tangan seorang guru di Kuningan, Daeng Sutigna. Sejak 1938 Daeng Sutigna mengadakan serangkaian eksperimentasi agar angklung dikembangkan untuk dikenal di kalangan masyarakat.

Untuk mempopulerkannya, tangga nada angklung diubah dari pentatonis menjadi diatonis (Wiramiharja, 1989). Tampaknya popularitas Daeng Soetigna mengemuka ketika kreasi angklungnya dimainkan pada saat Perjanjian Linggajati (1948) dan puncaknya saat Konferensi Asia Afrika (1955). Pada dasawarsa 1970-an, apresiasi terhadap angklung tidak terbatas di Indonesia, melainkan melintasi juga ke negara jiran. Ratusan set angklung saat itu mulai diekspor ke Malaysia setiap tahunnya (Sumarsono & Pirous, 2007; Wiramiharja, 1989). Maka, tidak heran, jika saat ini di dalam negeri hingga mancanegara, angklung kini (seolah) dikenal sebagai sebuah budaya komunal; terlebih sarana teknologi informasi dan komunikasi saat ini memungkinkan munculnya fenomena diaspora kebudayaan.

Penutup
Sejak lampau hingga masa kini, angklung mengalami masa transisi yang menarik: bermula dari sifat dan fungsinya sebagai alat musik tradisi menjadi instrumen pertunjukkan yang umumnya dikenal sekarang. Pada akhirnya, dikenal sebagai sebuah ikon budaya yang dikatakan khas Sunda atau malah ada hasrat mematenkannya sebagai milik bangsa Indonesia, mengingat konfrontasi dan klaim budaya yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Tentu saja, dalam percaturan global, kebudayaan lokal semacam angklung berpotensi mengalami diaspora, mengingat juga latar belakang universalitas budaya bambu yang memungkinkan terjadinya penyesuaian budaya, seperti halnya terjadi di masa silam. Glokalisasi (glocalisation, sebuah hibridasi global dan lokal) adalah sebuah fenomena kebudayaan yang saat ini kita hadapi; dikonsepsikan Keith Hampton dan Barry Wellman (2002) sebagai jaringan aktivitas manusia dalam batas lokal dan global. Tentu saja, dengan contoh kasus angklung sebagai salah satu saja dari sekian budaya lokal lainnya, diperlukan suatu strategi kebudayaan yang lebih berwibawa untuk menampilkan identitas kebudayaan lokal (baca: Sunda) di tengah-tengah kumparan global. Bukan sekedar aksi-aksi klaim, tentunya.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadibrata, Enoch dkk. 2006. Khazanah Seni Pertunjukkan Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Crawfurd, John. 1820. Indian Archipelago; Containing an Account of the Manners, Arts, Language, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants (vol. 1). Edinburgh: Archibald Constable.

Encyclopædie van Nederlandsch-Indië (ENI). 1917, 1918, & 1921. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Ferdinandus, Pieter Eduard Johannes. 1999. Alat-Alat Musik Jawa Kuno (Abad IX – XV Masehi): sebuah Kajian Mengenai Bentuk dan Fungsi Ansambel, Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Frame, Edward M. 1982. “The Musical Instruments of Sabah, Malaysia” dalam Ethnomusicology, XXVI/2, May 1982.

Goldsworthy, David, Catherine Falk, & Bronia Kornhauser. 1978. Studies in Indonesian Music. Monash: Centre of Southeast Asia Studies Monash University.

Hampton, Keith & B Wellman. 2002. “The Not So Global Village of Netville.” (h. 345-371) dalam The Internet in Everyday Life (Barry Wellman & Caroline Haythornthwaite [eds.). Oxford: Blackwell.

Kartomi, Margaret J. 1985. Musical Instruments of Indonesia; An Introductory Handbook Indonesian Arts Society. Melbourne.

Kunst, J & R. Gorris. Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost-Java. Weltevreden: G. Kolff.

Kunst, J. & R.T.A. Wiranatakosoema. 1921. “Een en Ander Over Soendaneesche Muziek” dalam Djawa, 1 blz, hal. 235-252.

Kunst, J. & C.J.A. Kunst van Wely. 1923. “Over Toonschalen en Muziekinstrumen van West Jawa” dalam Djawa, III blz, hal. 26 – 40.

Kunst, J. 1936. “Musicological Exploration in the Indian Archipelago” dalam Asiatic Review No.3, October, 1936.

_______.1947. De Inheemse Muziek en de Zending. Amsterdam: Uitgeverij H.J. Paris.

_______. 1955. Ethno-musicology; A Study of its Nature, its Problem, Methods, and Representative Personalities to which is added a Bibliography. The Hague: Martinus Nijhoff.

_______. 1973. Music in Java; its History, its Theory and its Technique (vol. I & II). The Hague: Martinus Nijhoff.

Kusumadinata, R.M. 1951. “Dapatkah DA-MI-NA-TI-LA digantikan oleh DO-RE-MI-FA-SO-LA-TI atau C-D-E-F-G-A-B?” dalam Budaja, No. 28, 1951.

Kusumastuti, Roosenani. 1981. Alat Musik pada Relief Candi Borobudur. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

McPhee, Colin. 1937. “Angkloeng Gamelan in Bali” dalam Djawa, 17 Jrg no. 17. 1937, hal. 322-350.

Nieuwenhuis, A.W. 1929. “De Onrust in Indië en Hare Oorzaken” dalam Tropisch Nederland, No. 26 – 19 April 1929.

Piper, Jacqueline M. 1992. Bamboo and Rattan; Traditional and Beliefs. Singapore: Oxford University Press.

Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java vol. I. London: John Murray.
Sumarsono, Tatang dan Erna Garnasih Pirous (et.al.) 2007. Membela Kehormatan Angklung; Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna. Bandung: Serambi Pirous.

Sutrisna, Deni. 2009. “Angklung, Perkembangannya dari Masa ke Masa” dalam Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala vol. XII, No. 23, Juli 2009, Medan: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Medan.

Taylor, Eric. 1989. Musical Instruments of South-East Asia. Singapore: Oxford University Press.

Van Zanten, Wim. 1989. Sundanese Music in the Cianjuran Style; Anthropological and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht: Foris.

Wiramiharja, Obby A.R. 1989. “Angklung Padaeng”, Makalah pada Seminar Nasional Angklung, ITB, 26 Oktober 1989.

Yule, Henry. 1968. A Narrative of the Mission to the Court of Ava in 1855. Kualalumpur: Oxford University Press.

Budaja, No. 25, 1951
D’Orient, No.52, 24 Desember, 1938
Indie, No 21, 22 Agustus 1917

http://en.wikipedia.org/wiki/Aeolian_harp.

(Fadly Rahman)

.

.

.

[sumber: facebook.com/atl]