The Story of Sutasoma …

Tokoh Mpu Tantular seringkali dikaitkan dengan sebuah karya sastra yang sangat terkenal yakni Sutasoma yang tidak lain adalah hasil karyanya sendiri. Sutasoma menceritakan kehidupan sorang raja mulai dari sebelum lahir sampai saat dirinya pulang ke surga Jina. Menurutnya, seorang raja yang baik dan berwibawa, adalah raja yang mampu atau rela berkorban demi orang lain. 

Hal ini dapat dilihat ketika Sutasoma rela mejadi korban raksasa Kala dengan persyaratan 100 orang raja yang dipersembahkan oleh Purusada dibebaskan dari lahapannya, sampai akhirnya Kala tidak berhasil membunuhnya dan akhirnya menjadi kerabatnya. Gagasan Sutasoma yang lain adalah bahwa menghadapi musuh tidak harus dengan angkat senjata, melainkan dengan cara yang lebih santun yaitu diplomasi dengan keluhuran budi dan kekuatan batinnya. 

Semua yang dikalahkan tidak dianggap sebagai bawahannya, tetapi dianggap sebagai kerabat. Satu hal yang terpenting dari gagasan Sutasoma adalah bhinneka tuńgal ika, TAN HANA DHARMA MANRWA “, artinya: “Keanekaan itu hakekatnya satu” (hanya Esa), sebab tidak ada yang hakiki ( kebenaran) itu lebih dari satu.

Berikut adalah petuah dari Sutasoma tentang keresahannya terhadap pertentangan agama yang sering terjadi. Tantular menempatkan Sutasoma sebagai raja sangat toleran terhadap warganya, yaitu menyangkut kerukunan antar umat beragama karena pada waktu tersebut berkembang beberapa agama. 

Raja Sri Mahaketu (seorang keturunan Kuru) di Hatina diancam oleh rombongan raksasa yang merusak dusun-dusun dan pertapaan-pertapaan. Menurut kepala brahmana (munindra) hanya seorang putra keturunan raja sajalah yang dapat menghancurkan rombongan raksasa itu. Terdorong oleh pendapat itu, raja ingin memiliki putra yang diharapkan itu .

Raja melakukan yoga di depan Jina. Raja mendapatkan wahyu bahwa sang Bodhisatta sendiri yang akan menjadi putranya. Tidak beberapa lama istri raja mengandung dan setelah sampai waktunya melahirkan seorang putra. Para dewa turun di dunia dan menghormatinya dan mengatakan bahwa sang Jina telah dilahirkan.

Putra itu diberi nama Sutasoma.Setelah Sutasoma menginjak dewasa ketika melakukan kebaktian agama di bawah pimpinan Sri Jineswarabajra, ia adalah guru sang raja. Raja berkeinginan Sutasoma segera menikah dan naik tahta, menggantinya sebagai raja. Sutasoma disebut raja, diberi tahu tentang kehendaknya itu.

Raja menasehatinya bahwa: • Sebagai raja harus mensejahterakan dunia. • Dengan menikah dan memerintah berarti melaksanakan kemanunggalan dengan sang Budha.  Seorang raja harus memberantas penyimpangan yang mengakibatkan kehancuran seluruh dunia.Sutasoma menjawab bahwa ia sadar tentang kekurangannya untuk menerima beban berat menggantikan ayahnya.

Untuk menambah kekurangan itu, hanya di pegungan keheningan akan dapat dicapai, bukan di tengah-tengah dunia ramai. Setelah mendapat kesempurnaan di tempat yang hening itu, ia akan dapat menyelamatkan dan memejukan kesejahteraan dunia. Keinginan raja didukung oleh patih Jayendra, ia mengingatkan Sutasoma tentang beban berat yang dipikul ayah dan rakyatnya. Maka agar Sutasoma segera menggantinya dan cepat menikah. Setelah mendapat keturunan dan cepat menggantinya, maka bebas mengundurkan diri dan hidup di pertapaan.

Pendapat patih didukung oleh Mahosadhi seorang pendeta keraton (purohita). Ia menambahkan bahwa keheningan dapat diraih dalam kehidupan berkeluarga sambil menurunkan putra dan melakukan yoga. Sutasoma tidak terpengaruh nasehat kedua orang itu, ia tetap berpendapat bahwa satu-satunya tempat untuk mencapai keheningan adalah di pegunungan. Petualangan Sutasoma dimulai waktu tengah malam dengan diam-diam ia meninggalkan tempat tidurnya tanpa diketahui para penjaga pintu keraton. Raja dan ratu sangat sedih setelah mendapat laporan bahwa Sutasoma meninggalkan keraton. Berbagai pengalaman diperoleh Sutasoma dalam pengembaraannya. Sutasoma telah melewatkan dusun-dusun dan sampai di kaki pegunungan. Pada waktu matahari tenggelam ia memasuki sebuah kuburan dan menghormati dewi Bhairawi di sebuah candi untuknya . Setelah melakukan yoga, Sri Widyatkarali (nama lain dari Bhairawi atau Durga) menampakkan dirinya dan menunduk di depan dan memuja Sutasoma, sebab ia telah dapat menaklukkan segala hawa nafsunya, ia adalah inkarnasi sang Budha. Sang Dewi mengajarkan mantra yang disebut Mahahredaya, mantra itu dapat menghancurkan segala kejahatan kekuatan musuh, segala macam penyakit dan kecelakaan.

Sang Dewi juga menunjukkan pertapaan Bhatara Guru di gunung Semeru. Setelah itu sang Dewi lenyap dari penglihatan. Sutasoma melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung Semeru seperti yang disarankan sang Dewi Durga. Setelah tujuh hari perjalanan sampailah ia di sebuah pertapaan gunung Semeru. Ia disambut pemimpin pertapaan bernama Kesawa. Dalam pembicaraan Kesawa menanyakan tujuannya Sutasoma sampai di pertapaan itu. Jawab Sutasoma minta petunjuk agar dapat mencapai puncak gunung Semeru. Sutasoma melanjutkan perjalanan lebih lanjut, dan sampailah di pertapaan Budha yang dipimpin oleh Sumitra. Sutasoma mendapat penjelasan dari Sumitra. Ternyata Sumitra adalah paman ibunya (Prajnadhari).

Kakak ibu Sutasoma adalah raja Kasi yang telah digantikan oleh putranya (Dasabahu). Adik perempuan Dasabahu bernama Candradewi merupakan calon istri yang tepat untuk Sutasoma. Sutasoma minta kepada Sumitra tentang kehidupan raja Dasabahu. Diceritakan bahwa dulu ayahnya menginginkan seorang anak yang gagah perkasa. Bersama dengan istrinya menuju ke pegunungan untuk bersemedi. Sang Brahma dengan wajah yang menakutkan menampakkan diri dan akan menelan mereka, akan tetapi tes itu dapat mereka lalui.

Kemudian sang Brahma menampakkan lagi dengan wajah yang ramah dan mangabulkan keinginan mereka yaitu memiliki putra yang gagah perkasa. Raja dan permaisuri pulang ke keraton. Istri mengandung, melahirkan seorang putra dengan sepuluh lengan. Raja sedih akan kejadian itu, maka anak akan dibuang ke laut. Tiba-tiba putra berubah menjadi tampan, diberi nama Brahmaja (putra Brahma) atau Dasabahu (berlengan sepuluh). Setelah sampai waktunya Dasabahu naik tahta menggantikan ayahnya dan berafiliasi yang setia dengan raja Hastina. 

Sumitra melanjutkan ceritanya. Ketika Suciloma (raksasa menyerupai Kala) mengacau di seluruh permukaan bumi. Sang Jina (Budha) menjelma dalam diri pangeran Agrakumara, dapat mengalahkan Suciloma. Suciloma tidak dibunuh asal sanggup tidak mengganggu manusia. Suciloma menjadi putra raja Sudasa di Ratnakanda, menekuni terhadap sang Budha. Rudra menampakkan diri dan marah terhadap juru masaknya karena menyajikan masakan yang dimakan anjing.

Jayantaka (Purusada = pelahap manusia) dapat dikalahkan oleh inkarnasi sang Budha yaitu Sutasoma. Setelah selesai bercerita Sumitra mendesak Sutasoma segera menjadi raja di Hastina. Tiba-tiba muncul dewi Bumi ini minta agar Sutasoma menyelamatkan bumi dari kehancuran waktu. Semua permintaan itu belum dapat merubah pendirian Sutasoma. Sutasoma bersama Kesawa melanjutkan pengembaraannya, sampai di pohon Kepoh, rumah anak Suciloma (berkepala gajah, berwatak buas, bernama Durmukha atau Gajamukha). Karena tidak mengindahkan nasehat Kesawa, Sutasoma mendekati pohon Kepoh, disambut dengan raungan yang menakutkan, perkelahian tak terhindarkan. Gajamukha dapat dikalahkan dan akhirnya menjadi murid Sutasoma. 

Gajamukha dan Sutasoma diserang seekor naga. Gajamukha berarti membunuh naga tetapi dilarang oleh Sutasoma. Naga bersujud di hadapan Sutasoma. Sutasoma bertemu seekor harimau betina yang akan melahap anaknya sendiri. Maksud itu diblokir-halangi, Sutasoma sanggup dilahapnya sebagai gantinya. Dunia akan berkabung jika mendengar Sutasoma mati dilahap harimau. Oleh karena itu dewa Indra turun di dunia menghidupkan lagi Sutasoma. Akhirnya harimau menjadi murid Sutasoma. 

Gajamukha, naga, dan harimau minta pelajaran tentang keheningan, apakah keheningan dapat dicapai lewat jalan kemurnian yang sempurna atau harus melewati kematian. Dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara hidup dan kematian asal manusia mau berbuat baik terhadap sesama makhluk. Jalan yang harus dilalui dapat berupa hidup atau mati, yoga dan kebajikan.Para dewa cemas sebab Jayantaka muncul kembali dengan niat kejahatannya. Indra mengutus sejumlah bidadari yang dipimpin Sukirna dan Tilottama untuk menggoda Sutasoma yang sedang bersemedi di puncak gunung Semeru. Usaha para bidadari gagal. Indra menjelma menjadi bidadari dan menggoda Sutasoma. Waktu Indra akan mencium kaki Sutasoma lenyap, tampak Wairocana di pada padma dikelilingi para Jina dan dewa. Setelah menerima pujian Wairocana menjadi Sutasoma kembali. Sutasoma mengakhiri semedinya, sadar bahwa ia seorang Budha. Sutasoma ditemani Kesawa download dari puncak Semeru menuju Bharata. Di tengah perjalanan bertemu Dasabahu yang sedang berkelahi dengan pengikut Purusada. Pengikut Purusada dapat dikalahkan, lari ke Sutasoma dan berjanji akan melepaskan karakter jahatnya.Dasabahu merangkul Sutasoma dan meminta agar ia mengawini adiknya. Mereka bersama naik mobil melewati kraton Awangga yang telah dikalahkan oleh Dasabahu. Akhirnya mereka sampai di kraton Dasabahu. Ketiga anak Dasabahu dikenalkan dengan Sutasoma di suatu danau. Dikatakan bahwa danau itu dulu dibuat oleh raja Jina (Wairocana) bersama istrinya Locana waktu masih di surga. Sekarang mereka turun ke bumi menjelma pada Sutasoma dan istrinya. Setelah beberapa waktu tinggal di kraton Dasabahu, mohon ijin kepada raja ingin menjenguk orang tuanya di Hastina. 

Purusada sudah melahap sembilan puluh sembilan raja. Sekarang perhatiannya ditujukan ke raja Jayawikrama. Terjadi pertempuran, raja Jayawikrama meninggal, istri ikut meninggal terjun di api unggun. Raksasa Purusada beserta raja sekutunya yaitu raja Kalingga, Magadha dan Awangga ke Hastina. Sutasoma menawarkan diri sanggup menjadi korban agar raja lainnya berhasil diselamatkan. Terjadi pertempuran. Kala bergembira karena Sutasoma sanggup menyerahkan diri. Kala berubah menjadi seekor naga akan menelannya, tetapi tidak jadi justru menjadi murid Sutasoma. Di bawah Sutasoma Kala dan Purusada hidup sebagai seorang biksu dan diberi pelajaran tentang dharma dan berbagai bentuk yoga. Setelah beberapa waktu Sutasoma dan istrinya pulang ke surga Jina. Purusada menerima pahala karena Tapanya sebagai murid Jina. Kala mendapat pangkat Pasupati. Ardana (putra Sutasoma) menggantikan ayahnya sebagai raja di Hastina. 

[Sumber: Lontar Koleksi Museum Sonobudoyo, diterjemaahkan oleh DR. Riboet Darmosoetopo]