Keterbatasan Bukanlah Penghalang Meraih Kesuksesan… [true story] …

Oman ‘Encep’ Fathurahman

Dari Pengasong Jadi Doktor

Meraih Mimpi

Meraih Mimpi

Kerasnya hidup dan perjuangan panjang adalah secuplik perjalanan doktor muda, Oman Encep Fathurahman. Demi impian yang diraih, ia rela bergulat dengan debu dan terik matahari sebagai pedadang asongan.

.

Di ruangan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, seorang lelaki sedang asyik dengan pekerjaannya. Naskah-naskah kuno yang sudah berubah warna kertasnya menumpuk di depannya. Tangan kanannya memegang sebuah kamera DSLR. Cahaya blitz berkilatan dari buah lampu studio di kanan-kirinya.

Siang itu, Jumat (12/3),  Oman Fathurahman, nama lelaki itu, sedang melakukan digitalisasi terhadap naskah Tata Bahasa Arab yang ditulis pada abad 18 dan naskah Primbon Jawa-Cirebon yang ditulis pada abad yang sama.

Sebagai Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa), Oman memang tengah mengembangkan apa yang dinamakan manuscript digital library. Merespon Unesco yang mewajibkan membangun World Digital Library. Sudah sekitar 1000 naskah yang telah didigitalisasi.

Naskah kuno memang telah membuat Oman yang akrab dipanggil Encep ini jatuh cinta. Kecintaan yang membuat Encep meraih gelar doktor di Universitas Indonesia atas beasiswa penuh Indonesian International Education Foundation (IIEF).

Disertasi Tarikat Shattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat berhasil dipertahankannya. Encep pun lulus dengan predikat cum laude pada 11 September 2003.

Tak hanya itu, dari naskah-naskah kuno itu pula membawa Encep berkeliling dunia. Diudanng berbagai seminar atau jadi pembicara. Berbagai buku dan tulisan yang dibuatnya menjadi pertimbangan utama penilaian The Alexander von Humboldt-Stiftung.

Tahun 2006, yayasan terkenal di Jerman itu memberikan fellowship sebagai Gastwissenschaftler (mahasiswa yang dapat beasiswa) di Cologne University, bersama Prof. Dr. Edwin Wieringa sebagai academic host-nya. Selama 2 tahun, Encep, istri dan ketiga putranya tinggal di Bonn, Jerman.

Tak lama lagi, Encep juga dipanggil ke Oxford University atas ususlan British Council. Encep akan menjalani program selama 9 bulan di Inggris.

Dengan berbagai pencapaian besar ini, Encep mengaku sangat bersyukur. Pasalnya, dia hanya  mengimpikan dapat kuliah S1 malah mendapatkan gelar doktor.

Encep yang lahir dari golongan menengah ke bawah dan besar di pesantren ternyata bisa menemukan jalan hidupnya. Meski harus melalui perjuangan yang panjang dan berliku.

“Sukses pendidikan itu tidak pararel dengan sukses ekonomi. Sukses ekonomi tidak selalu sukses pendidikan. Meski ekonomi terbatas, kalau kita mau ya bisa juga. Bahkan bisa lebih dari standar. Banyak beasiswa menunggu di mana-mana,” jelas Encep di ruang kerjanya.

“Kuncinya bukan pada sekolah agama atau umum, tapi bagaimana kita menekuninya. Tekun, kerja keras, dan pantang menyerah. Dalam beberapa hal kayaknya saya mempunyai itu,” imbuhnya.

Ekonomi Ketat

Sembari ditemani segelas kopi susu, Encep menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Namun bisa menginspirasi banyak orang.

Encep dilahirkan pada 8 Agustus 1969 di Kuningan, Jawa Barat. Encep adalah anak nomor 7 dari 9 bersaudara pasangan HM Harun BA dan Sukesih. Setelah Encep lahir, keluarga ini menetap di Pesapen, Kuningan, Jawa Barat.

Ayahnya adalah seorang guru agama Sekolah Rakyat. Sedangkan ibunya, pegawai Departemen Agama. “Ketika saya lahir, saya melihat orangtua sudah mulai mapan. Sudah jadi pegawai negeri,” katanya mengawali cerita.

Ekonomi orangtuanya memang terbilang lumayan. Namun keluarganya adalah keluarga besar. Hal yang membuat semua anak-anaknya harus sekolah tapi hanya sampai Madrasah Aliyah (setingkat SMA).

Sebagai keluarga besar, orangtuanya menerapkan apa yang disebut Encep sebagai sistem ekonomi ketat. Artinya membatasi jatah pakaian, biaya pendidikan, dan jatah makan.

“Kami sering harus puas makan sepotong atau seperempat potong telur. Lebih lumayan dari cerita kakak-kakak sebelum saya lahir. Mimih (ibu) sempat hanya bisa memasak satu kali bubur untuk dimakan seluruh keluarga,” terang Encep.

Encep tumbuh di keluarga yang sangat religius. Ayahnya sangat fanatik menyekolahkan anak-anaknya di madrasah dan kemudian di asramakan ke pondok pesantren.

“Memasukkan anaknya ke pesantren itu sebenarnya tidak umum, juga di lingkungan terdekat saya. Di keluarga saya, bapak yang keukeuh kalau anaknya di pesantren. Selalu membanggakan anaknya di pesantren,” ucap Encep.

Tahun 1981, setelah menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) PUI Kuningan, Encep meneruskan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) di tempat yang sama. Encep lulus MTs tahun 1984.

“Kelas tiga Tsanawiyah saya sudah khatam Al-Quran sebanyak 32 kali. Setiap khatam, bapak selalu memberikan hadiah 1000 perak. Orangtua juga mengajari membaca dan memahami kitab Safinah. Hingga saya hafal bagian-bagian tertentu baik teks Arab maupun terjemahan Sunda-nya,” ungkap Encep.

“Jujur saja, pemahaman saya tentang kitab kuning adalah salah satu kunci pembuka ke karir saya. Sampai saat ini. Saya bangga memiliki kemampuan membaca teks-teks berhuruf Arab gundul,” imbuhnya.

Setelah itu, Encep pun melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya. Di Cipasung, Encep juga menjadi  santri di pesantren setempat.

“Saya sebenarnya nggak mau. Seneng main,  seneng bebas. Tiba-tiba dimasukkan ke pesantren. Tapi nggak punya pilihan. Kalau anak sekarang mungkin punya pilihan dan bisa menolak,” terangnya.

Makan Bonggol Pisang

Tahun 1987, Encep lulus MAN Cipasung. Nah, inilah awal masalah pelik yang menimpa Encep muda. Karena berprestasi, Encep lulus dan mendapatkan jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

“Bisa masuk perguruan tinggi tanpa masuk tes. Tentu sangat membanggakan saya. Tapi, kebahagiaan saya langsung musnah saat bapak tidak menyanggupi membayar biaya kuliah,” kata Encep.

“Bapak memang sangat peduli pendidikan. Tapi hanya sampai SMA. Karena bapak harus membiayai kedua adik saya. Saat itu masih SD dan SMP,” ujarnya.

Akhirnya, Encep benar-benar tidak dapat kuliah. Encep malah dimasukkan ke pesantren salaf (pesantren tanpa jenjang pendidikan formal) di Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa, Tasikmalaya. Sebuah pesantren yang terletak di kaki gunung.

“Kalau mau makan harus cari bongol jantung pisang. Diulek pake garam. Kita juga ngutang kalau buat makan. Tiap hari turun ke sungai untuk ngambil pasir dan batu. Jalannya nanjak. Tiap hari begitu. Saya sebenarnya nggak mau tapi lagi-lagi saya nggak ada pilihan,” jelas Encep.

Pesantren ini terkenal dengan kekhususannya mengajarkan ilmu tata bahasa Arab. Pimpinannya, KH Saefuddin Zuhri memwajibkan santrinya menghafal kitab-kitab nahw sarf, seperti Al-Ajurumiyya, Kailani, Nazm al-Maqsud, hingga yang tertinggi, Alfiyya ibn Malik.

“Dari pesantren ini saya mengenal Bahasa Arab. Saya jadi hafal kitab-kitab itu. Karena kalau tidak bisa menghafal, saya atau santri lain direndam di kolam,”  terang Encep semberi tertawa.

Selama satu tahun Encep menimba ilmu di pesantren itu. Tahun 1988, Encep pamit pada pimpinan pesantren karena ingin kuliah. Alasan yang membuat pimpinan itu marah besar.

“Saya juga bilang ke bapak ingin kuliah. Beliau masih tetap bilang mau pakai apa bayarnya. Saya bilang, sudah bosen. Kata bapak, ya udah ke tempat lain aja. Maksudnya, pindah pesantren,” terang Encep.

Dengan pasrah, Encep masuk ke Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Pesantren pimpinan KH Khoer Affandi yang di Jawa Barat dikenal sebagai mantan tokoh Darul Islam (DI/TII).

Ada kisah lucu saat Encep belajar di pesantren yang khusus mengajarkan ilmu tauhid (ketuhanan) ini. Saat itu, di pesantren akan dilaksanakan lomba pidato dalam rangka memperingati hari besar Islam.

Encep yang baru masuk pesantren tiba-tiba diminta untuk ikut lomba tersebut. Gara-garanya wakil kamarnya sakit. Hasilnya, Encep malah menjadi juara pidato antar kamar.

Menjadi juara antar kamar, Encep menjadi wakil untuk lomba antar asrama. Lagi-lagi, Encep menjadi juaranya. Encep pun mewakili asramanya untuk lomba pidato se-pesantren.

“Saya menang lagi. Saya ditunjuk untuk menjadi wakil lomba pidato antar pesantren. Saya membatin, wah kalau begini-begini terus bisa-bisa saya tidak kuliah-kuliah. Jadi tukang pidato terus,” katanya.

Sebuah pikiran nakal terlintas di benak Encep. Setelah 4 bulan di pesantren atau satu bulan sebelum lomba pidato antar pesantren, Encep memilih kabur.

“Subuh-subuh saya kabur. Berkerudung sarung. Sambil menjinjing sepatu. Saya ke terminal Bus Tasikmalaya dan pulang ke rumah. Saya nggak mau lagi ke pesantren,” jelas Encep.

“Hasrat saya untuk kuliah terus membayangi otak saya. Ijazah saya hanya tiga tahun waktunya. Saya membayangkan Juli tahun 1989 sudah bisa kuliah,” lanjutnya.

Menjadi Pengasong

Keputusan Encep sudah bulat. Ayahnya pun akhirnya tidak bisa melarangnya lagi. Kakak-kakaknya, terutama kakak sepupunya Jojo begitu mendukungnya. “Saya ingin kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” ucapnya.

Dengan bekal doa dan sedikit uang, Encep berangkat  ke Jakarta pada Oktober 1988. Tujuannya, rumah kontrakan kakak sepupunya  yang tinggal di Sukabumi Udik, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

“Saat di Jakarta, sembari menunggu bulan Juli, saya berpikir keras. Masak saya hanya duduk-duduk doang. Terus terang saya nggak enak hati. Ini sangat membebani,” ujar Encep.

Lantas, kakak sepupunya pun melontarkan ide untuk berjualan rokok. Menjadi pedagang asongan. “Bukan saya yang memilih ingin jualan rokok. Apa yang paling mungkin saat itu untuk cari uang, ya itu,” jelas Encep.

Bermodal Rp 25 ribu dari kakak sepupunya, Encep mulai menjadi pedagang asongan. Setiap hari Encep berjalan kaki dari Kebayoran Lama sampai Tanah Abang. Paling jauh sampai Teater Jakarta.

“Terus terang saya sering menangis. Saya ini hafal bahasa Arab, hafal Kitab Alfiyya. Tapi kok jadi pedagang asongan. Kalau hanya jadi pengasong, ngapain susah-susah belajar di pesantren,” cerita Encep.

Apalagi keuntungannya sangatlah sedikit. Setiap hari Encep berhasil mengumpulkan uang Rp 10 ribu. Paling banyak Rp 15 ribu. Ini adalah hasil kotornya. Bersihnya, karena modalnya dari kakak sepupunya maka dipotong 10 persen.

“Jadi penghasilan saya setiap hari hanya 1000 atau 1500 perak.  Uang itu disimpan kakak sepupu saya. Saya dibikinin buku tabungan. Sayang bukunya sudah hilang,” kata Encep.

Sangat kurang! Ya, itulah yang selalu menghantui Encep. Impiannya untuk kuliah seperti semakin jauh dari jangkauannya. Namun, ide Encep tak pernah kurang.

Untuk menambah penghasilan. Selain berjualan rokok, Encep berjualan permen. Saya titipkan ke warung-warung. Setiap satu minggu, ia cek permen-permen itu.

“Lumayan dapat tambahan beberapa puluh rupiah. Saya bersyukur mau menjalani itu. Yang penting saya punya penghasilan sendiri. Saya tidak ada bayangan kalau sampai sekarang. Target saya itu hanya kuliah,” jelas Encep.

Beberapa bulan, Encep menjalani hidup sebagai pengasong. Berbagai kisah pahit pun telah ia lalui. Mulai dari dipalak preman sampai kotak jualannya dicuri orang saat ditinggal shalat Duhur.

Hidup memang tidak ada yang tahu. Awal tahun 1989, secara tak sengaja, Encep menemukan sebuah iklan lowongan pekerjaan dari potongan surat kabar.

Dalam iklan itu tertulis Sebuah penerbitan membutuhkan seorang editor bahasa Arab. Iseng-iseng Encep memasukkan lamaran. Saat tes, saingannya adalah mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah dan mahasiswa Intitut Ilmu Al-Quran (IIQ).

“Padahal yang diterima cuma satu. Sempet grogi juga. Alhamdulillah, saya diterima. Saya pun pindah ke asrama perusahaan di daerah Roxy,” ucap Encep.

Akhirnya, Encep pun ‘naik pangkat’. Dari pedagang asongan menjadi editor bahasa Arab. Gajinya waktu itu Rp 80 ribu. Plus uang makan Rp 1000.

“Tugas saya memeriksa teks-teks bahasa Arab jika ada yang salah tulis. Baik huruf maupun harakatnya. Tak hanya buku tapi juga kitab suci Al-Quran,” jelasnya.

Jualan Kaca Mata

Meski sudah bekerja, keinginannya untuk kuliah tetap mengebu-gebu. Encep berpikir bahwa gajinya masih jauh untuk membayar biaya kuliah yang waktu itu sekitar Rp 500 ribu.

Untuk mencapainya, Encep giat mencari tambahan dana. Dia pun menjadi guru les privat belajar bahasa Arab dan mengaji.  Hal itu dilakukan pulang kerja.

“Karena tempatnya jauh-jauh, saya beli motor Honda CB 100 seharga 200 ribu,” kenang Encep.

Dengan ketekunannya yang luar biasa, saat pendaftaran mahasiswa baru tahun 1990, Encep berhasil mendaftar. “Ada cerita panjang saat itu. Panjang dan penuh perjuangan,” katanya singkat.

Awalnya, Encep enggan untuk menceritaknnya. Namun setelah didesak, akhirnya ia pun mau meringkasnya. Ceritanya, sehari sebelum ujian masuk perguruan tinggi, kartu ujian Encep dibawa keponakannya. Padahal, keponakannya itu sedang kemping pramuka di Cipatuguran, Sukabumi.

“Jam 9 malam, saya menyusulnya. Naik motor yang sering putus rantainya. Saya nekat saja. Sampe jam 2 pagi.  Ketemu. Saya tanya, katanya kartu tes itu diselipin di buku di rumahnya di Ciputat. Akhirnya saya balik lagi. Karena ngatuk, tali koplingnya putus. Saya dari Sukabumi ke rumah nggak pakai kopling,” ungkap Encep.

“Sampai di kos keponakan saya jam 6 pagi. Saya cari bukunya nggak ada. Saya putuskan untuk membongkar semua buku. Panik. Sejam kemudian baru ketemu. Jam 8 pagi, saya ujian. Jam pertama kebetulan bahasa Arab. Sambil tidur aja saya bisa,” imbuhnya.

Setelah mengikuti ujian masuk, Encep pun lulus dan menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sampai di sini, perjuangan Encep belumlah berakhir. Karena kuliah, Encep harus berhenti dari pekerjaannya sebagai editor. Untuk memenuhi biaya kuliah,  Encep melakukan apa saja. “Saya cari tambahan dengan jual jam tangan, jual batik, privat ngajar ngaji sampai menjalani bisnis multilevel marketing,” terangnya.

Pekerjaan tambahan yang terakhir ia jalani adalah mendirikan sebuah optik. Modalnya Rp 1 juta hasil pinjaman dari kakaknya Jojo. “Pinjaman itu tidak cash. Saya diberi uang 600 ribu. Saya juga diberi televisi merk National Quintrix 14 inch agar dijual. Laku  400 ribu,” ungkap Encep.

Modal itu lalu dibelikan alat periksa mata Ophthalmic Trial Set buatan Shanghai Cina seharga Rp 500 ribu. Sisanya dibelikan beberapa buah frame kacamata.

“Sertifikatnya atau izinnya, saya nebeng sama temen. Saya periksa mahasiswa dan dosen. Saya bikin spanduknya El Kuni Optikal. Terima periksa mata gratis. Terima resep dokter. Diskon 20 persen.  Kredit tiga bulan,” jelasnya tertawa.

Selain sibuk kuliah dan menambah uang tabungan, Encep mengajar mengaji dari rumah ke rumah. Dan hasilnya bukan saja uang tambahan namun juga calon istri.

Encep juga aktif dalam berorganisasi di kampusnya. Seperti menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Cabang Ciputat (1992-1993), Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Adab (1993-1994) dan aktif di Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka). “Setelah itu kehidupan saya mulai kelihatan. Saya bilang, saya nggak mau muluk-muluk. Cukup kuliah S1 aja,” kata Encep.

Namun, ceritanya menjadi lain. Encep meraih predikat cum laude dan lulus tahun 1995. Seorang filolog Perancis, Henri Chambert-Loir mendorongnya untuk kuliah magister di UI bidang filologi.

“Saya juga dapat beasiswa dari IAIN. Tapi saya memilih UI. Atas bantuan Henri, saya mendapat beasiswa dari Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Nusantara. Saya juga magang di Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO) pimpinan Henri,” jelasnya.

Encep merampungkan Magisternya dengan cepat. Tak lebih dari 2 tahun ia sudah selesai. Predikatnya cum laude. Tahun 1999, Encep melanjutkan kuliah doktoral di UI. Kembali ia lulus dengan cum laude. *mono

Tidak Romantis dan Serius

Perjalanan panjang Encep meraih impiannya tak lepas dari peranan istrinya, Husnayah atau yang akrab dipanggil Ida. Wanita ini adalah  pendukung utama  Encep dalam meraih seluruh pendidikannya.

“Kami berkenalan saat masih kuliah S1. Semester akhir dan lagi nyusun skripsi. Waktu itu dia lagi ngajarin keponakan saya ngaji. Dikenalin kakak saya,” ungkapnya.

Setelah diangkat menjadi PNS di UIN Jakarta, 7 April 1996, mereka menikah. Kini, mereka dikaruniai tiga putra, Fadli Husnurrahman (1997), Alif Alfaini Rahman (2000), dan Jiddane Ashkura Rahman (2004).

Di mata Ida, Encep bukanlah seorang yang romantis. Encep adalah seorang pribadi yang serius dan cenderung perfeksionis. “Kalau udah kerja harus tuntas. Harus dapat hasil yang terbaik,” katanya.

Hal paling romantis yang pernah dilakukan suaminya?  “Makan malam dan ngajak nonton. Itu saja. Bapak tidak suka keluar rumah. Beda sama saya yang suka jalan-jalan,” ucapnya sembari tertawa.

Di rumah, Encep sangat suka menonton film action, drama dan film anak-anak. “Kalau libur paling nonton bareng-bareng di rumah sama anak-anak. Kalau nggak ya pergi ke toko buku, berenang, dan silaturahmi ke saudara-saudaranya,” terang Ida.

Apakah suami juga galak pada anak-anak? “Kalau dibilang galak sih nggak ya. Malah lebih galak saya. Nggak banyak ngomong tapi berwibawa. Kalau anak-anak nggak disiplin baru marah. Bapak juga selalu menekankan pada anak-anak supaya jangan mudah putus asa,” jelasnya. *mono

Tak Mudah Putus Asa dan Pekerja Keras

Kesuksesan Ecep meraih cita-cita tak bisa dilepaskan dari peranan kakak sepupunya, Jojo. Dialah yang  mendorong dan menyakinkan ayahnya saat pergi ke Jakarta. Dia pula yang memberikan modal untuk membiayai kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Lantas bagaimana Encep di mata kakaknya? “Orangnya kreatif, tidak gampang putus asa dan seorang pekerja keras. Keinginannya untuk kuliah sangat tinggi,” jelas Jojo.

Saat Encep pertama kali di Jakarta dan memilih untuk berjualan rokok, Jojo selalu memberikan nasihat. “Saya selalu tekankan bahwa ke Jakarta bukan untuk mencari uang tapi untuk kuliah. Uang bukan tujuan. Itu selalu saya tekankan,” kata Jojo yang menjabat sebagai Kepala Seksi Urusan Agama, kementerian Agama Kota Cirebon ini.

Jojo semakin menghargai kerja keras Encep saat dirinya diterima kuliah di IAIN. Tak heran, ia dengan gampang memberikan modal dagang untuk Encep.

“Idenya selalu ada. Saya juga heran kenapa dia memilih untuk membuka optik. Dia bilangnya pinjam. Dan sudah dikembalikan. Kebetulan saya punya uang lebih ya saya berikan saja. Ia pun membuktikannya dan berhasil lulus kuliah,” ucap Jojo yang menjadi suami kakak perempuan Encep ini.

“Saya hobi di pendidikan. Saya tidak suka melihat anak-anak nganggur. Saya melihat potensi pada diri Oman. Sekarang keyakinan saya terbukti,” ungkap Jojo. *mono
.
.

sumber : http://www.nyata.co.id/artikeldetail.php?id=253 (Rabu 31 Maret 2010 18:25:17 WIB)