Situs Menggung: Sebuah Ikon Historiografi

Situs Menggung

Situs Menggung

Abstraks

Basically, a site of temple is a prototype of unity between the macrocosmos and the microcosmos. The prototype is created so that human beings can reach the highest degree of perfectness. On the other hand, a site of temple is built so that the ‘gods’ are willing to come down to the world. This will hopefully create an aggregation of humans and their gods, either in their personal life or the society and the history. Therefore, for archaic people, a site of temple, either as an object or an action, has a high spiritual value. Thus, building a temple is regarded a way of archaic people’s participation in the real life.

Keywords: situs, candi menggung, historiografi

Pendahuluan

Situs Menggung merupakan bangunan purbakala peninggalan masa Hindu akhir yang dibangun dengan gaya arsitektur kebudayaan megalitikum yaitu punden berundak. Bentuk seni bangunan candi yang berundak mengingatkan kita kepada bentuk bangunan masa prasejarah.

Situs Menggung temyata memiliki “ikon kerohanian” yang begitu kental, signifikan dan determinan dengan hasrat bawaan manusia. Selain itu, Menggung juga menyediakan ikon-ikon lain, akan kebutuhan dasar dan alami manusia tentang makna kedamaian, ketentraman dan ketenangan hidup atau lebih tepatnya kesempumaan kehidupan dan kemanusiaan, yang lebih luhur, tinggi dan baik. Di sinilah Menggung sanggup memberikan inspirasi dan isyarat-isyarat yang dalam, bagi cita-cita luhur dalam kesempurnaan hidup dan kemanusiaan kita.

Kompleks situs menggung terletak di lereng barat Gunung Lawu dekat tempat pertemuan dua sungai, tepatnya di Desa Tawangmangu, Dukuh Nglurah, Kecamatan Tawangmangu. Lokasi ini sesuai dengan konsep bangunan suci sebagaimana tertera dalam kitab Vastusastra (kitab tentang arsitektur) serta Silpasastra (kitab pegangan para silpin) (Prayudi dalam Syamsiyah, 2003: 117). Indikasi ini berangkat dari asumsi bahwa untuk mendirikan candi harus memenuhi aturan-aturan yang telah digariskan dalam kitab-kitab Vastusastra – kitab yang memuat aturan-aturan baku pendirian candi. Ada beberapa kitab Vastusastra ini, di antaranya Manasara, Silpaprakasa, dan Visnudharmottaram. Aturan tentang pendirian candi juga dapat ditemukan dalam kitab­kitab Purana dan Agama. Aturan dalam Vastusastra tidak hanya berkaitan dengan kontruksi candi, tetapi meliputi pemilihan lahan. Bukafi-fianya dilihat jenis tanahnya, tetapi juga lingkungannya. Kitab Manavara menyebutkan bahwa bangunan suci (bangunan candi atau tempat suci) sebaiknya didirikan di tempat-tempat yang digunakan dewa biasa bersemayam dan bercengkrama, yaitu yang disebut tirtha (air) seperti danau, sungai, mata air, muara sungai, dan laut. Tetapi candi juga dapat didirikan di puncak bukit, di lereng-lereng gunung, di hutan, di lembah, dan sebagainya (Hardiati dalam Siagian, 2002: 2). Tempat yang digunakan dewa untuk bercengkrama itulah dengan sendirinya menjadi tempat suci dan disucikan (purification).

Aturan dalam Vastusastra Manasara, yang menunjuk thirta; danau, sungai, mata air, muara sungai dan laut, mengingatkan kita pada pemahaman orang Romawi terhadap konteks mundus – yaitu parit perlindungan, yang mengitari tempat dibangunnya sebuah kota– yang merupakan titik pertemuan antara wilayah yang lebih rendah dan dunia terrestrial (Eliade dalam Sukatno. C. R., 2004: 193). Dengan demikian, situs Menggung secara determinan dapat memberi gambaran seperti orang Romawi yang membuka mundus, yang seolah-oleh hal itu menjadi gerbang bagi dewa penjaga neraka, yang seram membuka “kata Varro (dikutip oleh Macrobius, Saturnalia, I, 16, 18).

Oleh sebab itu, kuil atau candi menjadi zona tempat “dunia atas” (surga, terestrial dan dunia bawah berpadu). Seperti disebutkan bahwa candi adalah tempat bersemayamnya dewa, yang patungnya ada di dalam bilik candi. Meskipun pada hakikatnya dewa itu benar-benar hadir dalam bilik-bilik candi sewaktu-waktu pada saat ada upacara dan dewa dipanggil untuk turun. Menurut beberapa mitologi, di luar waktu-waktu itu, dewa bersemayam di puncak-puncak gunung (Hardiati dalam Siagian, 2002: 3).

Sejak awal sejarahnya, Lawu telah dikenal sebagai tempat yang ideal dan signifikan bagi penggemblengan jiwa manusia dan kemanusiaan. Hal itu semakin nyata dengan eksisnya situs candi Menggung. Dengan keindahan, keteduhan dan kesunyian alamnya, Lawu menjadi tempat ideal manusia untuk ber”uzlah” (meninggalkan keramaian duniawi) demi bersuci diri dari debu-debu dunia dan buas rakusnya nafsu kemanusiaan menuju kesempurnaan tataran (maqam) ~Ceilahian. Terbukti ditemukan beberapa situs mulai dari tempat peribadatan seperti candi Cetho, Sukuh, dan Kethek sampai kepada tempat-tempat pertapaan seperti Pringgondani, Hargodalem (tempat mogsa-nya Raja Majapahit terakhir – Prabu Brawijaya V). Selain itu, ada juga sendang-sendang seperti sendang Temanten, sendang Drajat, sumur Jalatunda, dan lain sebagainya. Fakta-fakta semacam ini jelas semakin mengokohkan Lawu sebagai salah satu tempat penggemblengan jiwa manusia dan kemanusiaan yang tak pernah lekang dimakan zaman.

Melacak Lembar Historisitas

Prasasti-prasasti, artefak-artefak, dan candi-candi yang ditinggalkan di lereng Lawu (termasuk situs candi Menggung), bukanlah satu-satunya data sejarah. Tetapi ia menjadi sebuah “ikon historiografi”. Ikon-ikon itu perlu direkonstruksi, dicari rujukannya sehingga diharapkan mampu menghadirkan semacam jalinan “riwayat” kesejarahan. Memang mencari kebenaran “riwayat” kesejarahan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh. Tentu saja hal ini juga akan menimbulkan berbagai kontroversi tentang nilai kebenarannya itu sendiri. Paling tidak, capaian kebenaran yang mungkin juga masih bersifat relatif dan subjektif ini mampu memberikan sebuah penyadaran (inspirasi) bagi generasi berikutnya.

Melacak lembar historisitas dari suatu objek kesejarahan pada dasarnya adalah melacak sumber-sumber kesejarahannya itu sendiri baik yang bersifat faktual (rasional) maupun irasional (mitos) yang menjadi sistem kosmologi dan kosmogoni masyarakat Lawu ke dalam dimensi waktu, sejauh mungkin yang dapat diidentifikasikan dari objek kesejarahan tersebut. Untuk itu, pengkajian secara mendalam dan intens terhadap fenomena situs Menggung dengan berbagai realitas, agregasi, dan beberapa anutan nilai (mitos), anutan luhur (spiritual dan mentalitas) serta anutan historis (identifikasi waktu) yang menyertai sekaligus menjadi subsistem pendukungnya perlu dilakukan (Sukatno. C. R., 2004: 44). Demikian halnya dengan kasus situs candi Menggung yang juga telah memiliki akar historis yang sedemikian panjang dalam konstelasi sosial, budaya, bahkan politik dan mentalitas masyarakat masa lalu – khususnya Jawa – pada masa­masa peralihan peradaban Hindu – Islam.

Kehadiran situs purbakala atau situs candi merupakan bukti dimensi historisitas Menggung. Candi (Kuil, Masjid, Gereja), dalam konteks sejarahnya selalu menempati ruang penting dalam perkembangan peradaban umat manusia. Bangunan keagamaan biasanya mendapatkan perhatian khusus dan mengalami berbagai upaya pemaknaan secara istimewa. Tidak berlebihan kalau candi atau bangunan lain bisa dilihat sebagai metafor dan’ masyarakat yang membangun dan menghidupi bangunan itu. Artinya lewat kehadiran situs candi Menggung di Dataran Tinggi Lawu, secara sengaja atau tak sengaja, menyimpan sebuah ikon historiografi atau kesejarahan yang penting dari sebuah sistem, struktur, dan tata sosial sebuah koloni masyarakat (Jawa) di masa lalu yang layak untuk disingkap. Sebuah hipotesis yang cukup layak untuk dikemukakan adalah Menggung dalam tataran konstelasi Jawa (pada masa peralihan Hindu – Islam) sejak masa dahulu memang telah memiliki posisi penting, dalam tata sosial, politik, budaya, dan kesejarahan orang Jawa atau Nusantara pada umumnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena adanya dua gelombang kedatangan orang-orang dari India pada masa Hindhu-Budha, yang pada akhirnya membangun sebuah subsistem kesejarahan tertentu dalam masyarakat Jawa (Nusantara) pada umumnya (Lombard, 1996: 5).

Dilihat dari esensi dan eksistensinya, candi tidak hanya sekedar monumen spiritual tetapi juga merupakan monumen sastrawi yang membawa pesan yang jauh lebih luas dan lebih bermakna dari pengetahuan yang selama ini telah kita kuasai. Karena, candi menyimpan berbagai informasi tentang manusia dan kemanusiaan, sejarah, dan kehidupannya maka sangatlah wajar bila ia terus mengalirkan inspirasi referensial dan kreatifitas budaya manusia yang tiada habisnya. Dilihat dari prespektif ini, secara historis, kultural, dan sosiologis candi sanggup mempertautkan kita pada pengalaman yang begitu jauh di bilik-bilik ruang waktu kesadaran, sekaligus, mempertemukan kita dengan kenyataan yang teregelar di depan mata.

Menggung tiba-tiba seperti menyediakan seluruh kehauslaparan jiwa akan dunia yang tentram, damai, indah, serta mempesonakan mata dan kalbu. Menggung tiba-tiba seperti menjanjikan makna-makna “kebebasan” (freedom) dan “pembebasan” (liberation), “harga diri” (dignity), “pencarian eksistensi (means of existence). Tetapi Menggung juga menyediakan makna-makna yang bersifat paradoks dari makna-makna di atas seperti penyendirian (self isolation), penyucian (purification), juga keterasingan (sulitude), kehampaan atau kekosongan (emptynes) dan lain-lain atas jiwa manusia.

Candi sebagai Prototipe Alam Semesta

Kehadiran candi pada prinsipnya merupakan prototype persatuan antara makrokosmos (Jagad Gedhe atau semesta raya) dan mikrokosmos (Jagad Cilik atau alam pikir manusia) sebagai sebuah upaya manusia mencapai derajat kesempurnaan, (trasendensi). Dalam konteks ini artinya sebuah candi secara spiritual tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sebab candi baik sebagai objek maupun tindakan – membangun sebuah candi – menurut cara pandang manusia archaik mendapatkan nilai mistis (spiritual). Dengan begitu “membangun dan memaknai candi” secara nyata, dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam realitas atau mengatasi realitas mereka.

Dalam prespektif filosofi. Hindhu-Budha, candi selalu diidentikan dengan Mahameru yang berbentuk sebuah gunung (Himalaya di India). Karen Meru, dalam tata kosmogoni dan kosmologi, dipandang sebagai tempat “dewa-dewa” (Tuhan atau ruh leluhur) pertama-tama membangun kahyangan atau rumahnya di dunia. Dengan demikian, sebuah candi selalu mempresentasik-,m azas triloka (tiga kriteria alam), yakni Alain Atas; tempat tinggal para dewa dan makhluk-makhluk Ilahiyah lainnya, Alam Tengah; alam sosial budaya dan esensi antropologis, tempat tinggal manusia, dan Alam Bawah; tempat tinggal orang mati dan makhluk-makhluk primordial lainnya, seperti jin, setan, peri, brekasaan, raksasa, binatang dan lain-lain (Sukatno. C.R., 2004: 55).

Pada bangunan candi, yang paling khas dan spesifik dan lengkap tercermin dalam bangunan candi Borobudur. Konsep triloka itu terpadu secara lengkap, harmonis, dan final. Pembagian struktur kehidupan yang tercermin dalam struktur bangunan candi Borobudur menganut paham stadia (arahat) kemanusiaan, dari Kamadhatu (struktur bangunan yang paling dasar sebagai simbol kehidupan manusia), Rupadhatu (struktur bangunan tengah yang dipenuhi relief sebagai simbol manusia yang sedang menuju kesempurnaan), Arupadhatu (stnAdur bangunan paling atas yang tiada reliefnya sebagai simbol ketuhanan).

Karena kuat dan hegemoniknya makna filosofis gunung dalam ruang lingkup spiritual dan esoteric penciptaan alam semesta, maka dalam wayang atau budaya (pertunjukan) wayang (kulit) “gunungan” menjadi bentuk figur simbolik yang memiliki anutan nilai-nilai yang paling kuat. Bahkan “gunungan” menjadi sentral seluruh anutan nilai-nilai tersebut. Sebab dalam “gunungan” tercermin pandangan epistemologi wayang mengenai jagad kosmologi dan ekologi (alam dan lingkungan hidup). Sebagai simbol dari jagad kosmologi wayang, gunungan merupakan simbol dari Kurukshetra. Arti kata kshetra adalah medan pertempuran dan juga tempat suci. Tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya ia juga disebut dharmakshetra; tempat kebenaran dan kebajikan atau dharma yang langgeng harus dipertaruhkan sebagai perjuangan mental dan spiritual yang suci. Lebih jauh padang Kuruksethra juga diibaratkan dan dimaknai sebagai “tubuh manusia” atau lebih dalam lagi; hidup manusia, yang di dalamnya selalu terdapat konflik antara sifat baik dan buruk. Dalam hubungan ini, Kurawa ditampilkan sebagai pihak yang buruk (salah) dan Pandawa sebagai pihak yang baik (benar).

Figur gunungan juga mencerminkan stadia spiritual kehidupan manusia, sebagaimana stadia-stadia yang terungkap dalam candi Borobudur. Karena makna filosofi gunungan itu, ia selalu menjadi pembuka dan penutup (tancep . kayon) pertunjukan wayang. Cara penancapan gunungan itu mencerminkan stadia atau gradasi waktu Jawa yang dibagi menjadi tiga. Pembagian itu dilambangkan dengan gendhing, yang dimulai dengan menggunakan Patet 6 (nem), Patet 9 (sanga) atau klimaks sampai Patet Manyura (antiklimak atau penyelesaian). Gradasi waktu itu juga melambangkan tingkat intertektualitas. Satu asumsi bahwa sistem kehidupan dan kebudayaan sekecil apa pun, tentulah merupakan akumulasi dari perkembangan kehidupan dan kebudayaan yang ada sebelumnya (Pendit dalam Sukatno. C. R., 2002: 8).

Berangkat dari asumsi bahwa candi merupakan poros persilangan antara dunia, atas, tengah, dan bawah maka tidaklah mengherankan bila, candi Menggung dijadikan sebagai salah satu tempat peribadatan bagi pemeluk Hindu. Selain itu, di kompleks candi Menggung juga dilakukan upacara bersih desa, mohon keselamatan, kesejahteraan, kesembuhan dari penyakit atau permohonan-permohonan lain pada setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Permohonan ini biasanya dilakukan dengan cara semedhi di teras ke-2. Khusus upacara, bersih desa Dhukutan yang dilaksanakan pada setiap Selasa Kliwon Wuku Dhukut dilaksanakan pada teras ke-3. Ritual utamanya adalah mengelilingi altar tempat dua buah arca (Ratu Shima dan Kyai Menggung) searah jarum jam sebanyak 7 kali di teras ke-3 sebagai wujud penghormatan nenek moyang, kemudian melakukan tradisi tawuran. Tradisi tawuran ini dilakukan oleh para pemuda yang bermukim di Dukuh Nglurah Lor dan Dukuh Nglurah Kidul. Tradisi Tawuran ini terus dipertahankan sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan warga Dukuh Nglurah terhadap pepunden mereka, yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih (Wirajaya, 2004: 60).

Susunan teras yang terdapat di situs candi Menggung diyakini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sakral dan fungsi profan dan sekaligus merupakan ruang-ruang yang digunakan untuk aktifitas ritual kolektif dan individu. Ritual kolektif berupa doa bersama yang dipimpin Mbah Parto Sentono (masih merupakan keturunan langsung dari Kyai Menggung) atau bayan (pemimpin upacara) di teras ke-3. Adapun ritual individu berupa semedhi yang dilakukan sendiri-sendiri di teras ke-2 sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan penghormatan pada pepunden mereka.

Menggung sebagai Ikon Sejarah

Kehadiran Menggung dalam percaturan sosial, politik, dan budaya Jawa tentu saja tidak bisa lepas dari konteks peta Jawa (Nusantara) dalam prespektif yang lebih komprehensif. Asumsi pertama yakni berdasarkan informasi mitologis yang mengisyaratkan adanya eksistensi kerajaan Medang Kamulan (dekat Purwodadi) tak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini diperkuat dengan adanya informasi dari Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita, yang menyebutkan bahwa Aji Saka adalah seorang raja dari kerajaan Surati di Hindustan yang lari ke pulau Jawa karena kerajaamya diserbu musuh. Kepergiannya ke pulau Jawa atas petunjuk Bhatara Anggajali, ayahnya. Indikasi ini diperkuat dengan adanya gelombang mutasi besar­besaran dari India yang terjadi pada abad ke-3 dan abad ke-4 M. Yang agak mengherankan adalah catatan angka tahunnya, dimana R. Ng. Ranggawarsita mencatat tahun 768 (?) sementara Denys Lombard, permulaan tarikh Saka dimulai sejak tahun 78 M. Karena 768 M artinya sezaman dengan Dinasti Sanjaya di Jawa Tengah.

Penyebutan Aji Saka selalu berkaitan dengan muncul dan berkembangnya aksara Jawa. Dari beberapa hasil studi yang berkaitan dengan aksara Jawa, dapat disebutkan naskah-naskah yang memuat cerita tentang Aji Saka (beberapa dia antaranya juga memuat falsafah maknanya), serta yang khusus membicarakan aksara Jawa saja. Misalnya, Serat Ajisaka (NR. Th. P. 318), Serat Ajisaka (NR. Th. P. 206), “Serat Ajisaka” dalam Babad Sangkala (NR. Th. P. 233), “Serat Cakrabasa” dalam Serat Primbon (NR. Th. P. 295), Serat Cakrabasa (NR. Th. P. 245), “Serat Babad Sengkala” dalam Primbon Martanegaran (NR. Th. P. 282), Serat Si Kures (NR. Th. P. 207, 208), Serat Babad Sindula (NR. Th. P. 175, 308), Serat Kridhaksara (A. 27.05), “Serat Kridagsara” dalam kumpulan salinan tiga naskah, S. Dyamasastra dan lain-lain (G. 174), Serat Carakabasa (HA 27), Serat Cakrabasa (G. 43). Naskah-naskah tersebut ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan berhuruf Jawa dan ada pula yang telah berupa naskah salinan ketikan berhuruf Latin, yang merupakan koleksi Dr. Th. Pigeaud (oleh karena itu diberi nomer NR. Th. P.), dan itu semua tersimpan di Bagian Naskah Perpustakaan FIPBUI, Depok. Di samping itu, terdapat pula naskah cetak seperti “Ajisaka” dalam Djawi Kina karya Sindoepranoto (Bojonegoro: H. G. Molia, 1937, berhuruf Latin); Serat Wita Sastra karya R. Soeratna Wedyamartaya, 1935, berhuruf Latin; dan Serat Kridhasastra karya M. Ng. Mangoenwidjaja, Kediri: Tan Khoen Swie, 1919 dan 1926 (cet. 3), dalam huruf Jawa (Wahjono, 2003: 82)

Sementara itu muncul hipotesis bahwa pembentukan kerajaan di Jawa berjalan lamban. Karena berdasarkan temuan-temuan tertulis, ternyata prasasti pertama ditemukan di Jawa berasal dari daerah Pasundan sebelah utara. Jumlahnya lima buah, ditulis dengan huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Sanskerta, berangka tahun 414 M. Hal ini diperkuat dengan berita Cina yang ditulis oleh Fa Hein yang menerangkan adanya kerajaan Tarumanegara.

Selanjutnya, sekitar abad ke-6 ditemukan tanda-tanda yang menunjukkan adanya sistem kekuasaan (dinasti) yang bercorak Hindu. Hal ini diketahui dari prasasti Tuk Mas di desa Dakuwu, daerah Grabah (Magelang), dekat lereng Merbabu, yang berhuruf Pallawa, berbahasa Sanskerta. Temuan ini diperkuat dengan catatan Xin Tangshu yang menyatakan bahwa pada tahun 674 M penduduk Holing (Jawa) mempunyai ratu yang bernama Sima (Xi-mo). Selain itu, ada pula catatan I-tsing yang menyebutkan pada tahun 664 M di kerajaan Ho-ling, ada seorang pendeta Cina yang bernama Hwi-ning yang bekerja sama dengan pendeta lokal yang bernama Joh-no-po-to-lo atau Jnanabhadra berusaha menerjemahkan suatu kitab agama Budha. Ditemukannya prasasti Tuk Mas dan berita-berita di Cina menunjukkan bahwa di Kaling dua sistem agama Hindhu dan Budha sudah hidup berdampingan (Soekatno C. R., 2004: 145).

Karena idealitas yang luar biasa itulah kemudian nama Ratu Sima menjadifigure -of identification dinasti-dinasti yang muncul berikutnya. Nama Sima, digunakan untuk penyebutan daerah Swapraja (sima swatantra atau. Bumi Perdikan/daerah otonom di bawah kerajaan tertentu) yang diserahkan dengan,bebas pajak atau tidak dipungut pajak oleh kerajaan (drwya haji), namun dipungut oleh kaum rohaniwan (agama). Sementara, kraton merelakan surplus hasil bumi di daerah itu untuk dipergunakan menjadi drwya hyang atau, bwat hyang. Maksudnya tidak lain agar para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja. Penetapan nama daerah dengan penyebutan sima pernah dilakukan misalnya oleh Sri Kahulunan atau Pramodhawardani. Hal ini diabadikan dengan dituliskan dalam sebuah prasasti yang berangka tahun 842 M (Casparis, 1950: 106-108).

Agaknya hipotesis inilah yang lebih rasional diajukan untuk menjawab keberadaan arca Ratu Shima di altar teras ke-3. Adapun keberadaan arca Kyai Menggung dapat diidentifikasikan berdasarkan. mitos yang berkembang di masyarakat. Kyai Menggung merupakan salah satu pengikut/pengawal Raja Airlangga, yang bernama Narotama. la menetap, di Nglurah, meninggalkan segala bentuk kenikmatan dunia dengan satu tujuan yakni untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Makna kata “Menggung” itu sendiri adalah melengake marang Gusti Kang Maha Agung (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung). Artinya secara makrokosmos, manusia harus mampu membaca dan mempelajari firman-firman Tuhan yang telah menjelma menjadi sistem kehidupan sehingga dapat menemukan ilmu dan hakikat ilmu itu sendiri. Adapun secara mikrokosmos, manusia harus mampu membaca dan mempelajari sistem kehidupan yang ada di dalam dirinya atau fitrah yang terdapat di dalam dirinya. Dengan memahami mekanisme kehidupan baik yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya, maka manusia tidak akan merusak sistem, kehidupan itu sendiri, melainkan menjaga dan melestarikannya (Hardono, 2004: 149-150).

Penutup

Kehadiran situs candi Menggung di Dataran Tinggi Lawu, secara sengaja atau tak sengaja, menyimpan sebuah ikon historiografi atau kesejarahan yang penting dari sebuah sistem, struktur, dan tata sosial sebuah koloni masyarakat (Jawa) di masa lalu yang -layak untuk disingkap. Karena dilihat dari esensi dan eksistensinya, candi tidak hanya sekedar monumen spiritual tetapi juga merupakan monumen sastrawi yang membawa pesan yang jauh lebih luas dan lebih bermakna dari pengetahuan yang selama ini telah kita kuasai. Candi menyimpan berbagai informasi tentang manusia dan kemanusiaan, sejarah, dan kehidupannya maka sangatlah wajar bila, ia terus mengalirkan inspirasi referensial dan laeatifitas budaya manusia yang tiada habisnya. Dilihat dari prespektif ini, secara historis, kultural, dan sosiologis candi sanggup mempertautkan kita pada pengalaman yang begitu, jauh di bilik-bilik ruang waktu kesadaran, sekaligus mempertemukan kita dengan kenyataan yang teregelar di depan mata. Dalam konteks inilah sebuah candi secara spiritual tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sebab candi baik sebagai objek maupun tindakan – membangun sebuah candi – menurut cara pandang manusia archaik mendapatkan nilai mistis (spiritual) yang secara nyata dapat dimaknai sebagai (salah satu) upaya berpartisipasi dalam realitas atau mengatasi realitas mereka.

Daftar Pustaka

Asep Yudha Wirajaya. (2004). Penggalian Potensi Folklor sebagai Aset Pengembangan Pariwisata Budaya di Daerah Lawu. Surakarta: Laporan Penelitian.

Hardono. (2004). Menapaki Jejak Sunan Lawu: Menuju Revolusi Spiritual. Surakarta:-.

Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa; Silang Budaya 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nur Rahmawati Syamsiyah. (2003). Fenomena Akustik di Kompleks Candi Cetho

Lereng Gunung Lawu Karanganyar. Gelagar: Jurnal Teknik Vol. 14 No. 02 Oktober 2003. Surakarta: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Otto Sukatno. C. R. (2002). Wayang Hegemoni Sebuah Simbol. Minggu Pagi No. 18 Th 55, 1 Agustus 2002, him. 8. Yogyakarta: KR Press.

_________________. (2004). Dieng Poros Dunia: Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang. Yogyakarta: IRCiSoD.

Parwatri Wahjono. (2003). Aksara Jawa dalam Serat Kridaksara. Tali Rasa. Jakarta: Jurusan Sastra Daerah/Program Studi Jawa – Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia – Jakarta.

Renville Siagian. (2002). Candi sebagai Warisan Seni dan Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana.

.

.

_____________________________

1 Silpin adalah pembuat candi. Bagi Indonesia para siplin adalah para pribumi yang belajar keagamaan di India sekaligus belajar mengenai bangunan peribadatan kuil di India, dan kemudian menerapkannya di Indonesia.

… [Read More] …

.

.

.

Artikel ini dimuat dalam Jurnal Haluan Sastra