NASKAH LAKON ‘’RONGGOLAWE’’ KARYA S.T. WIYONO : SEBUAH ANALISIS STILISTIKA

Stilistika

Stilistika

Abstrak

Bahasa dalam suatu karya sastra merupakan ‘’sarana‘’ imajinasi dan kreativitas pengarang. Makna sebuah karya sastra dapat digali dan ditelusuri melalui bahasa yang digunakannya. Dengan demikian, pemakaian gaya bahasa (juga pemilihan kata) sangat menentukan dalam penyampaian makna suatu karya sastra. Pemakaian gaya bahasa itu meliputi bunyi, rangkaian bunyi, kata, rangkaian kata, frase hingga kalimat dapat menimbulkan efek dalam diri pembaca, misalnya untuk menggugah simpati atau empati pembaca. Selain itu, pemakaian gaya bahasa juga dimaksudkan agar karya sastra terasa indah (estetis) atau sebagai variasi untuk menghindari kemonotonan.

Kata-kata kunci : naskah lakon, bahasa, dan stilistika.

1. Pendahuluan

Naskah lakon atau drama sebagai salah satu jenis pengucapan kesusastraan, selain memiliki elemen-elemen yang sama dengan roman pada umumnya yakni alur, tema dan penokohan. Naskah lakon dibedakan dengan bentuk-bentuk lainnya terutama dalam hal pemenuhan tuntutan kebutuhan penyajian kembali di atas pentas. Dalam hal ini, pelaku dituntut untuk memerankan perwatakan tokoh-tokohnya serta melaksanakan dialog-dialognya demi mendukung kelancaran cerita. Dengan demikian, drama atau naskah lakon sebagai sastra adalah cerita yang unik. Ia hadir bukan untuk dibaca saja, melainkan dipertunjukkan sebagai tontonan. Drama belum mencapai ‘kesempurnaan-nya’ apabila belum sampai pada tahap pementasan teater sebagai bentuk perwujudannya. Untuk itu pemakaian gaya bahasa naskah lakon merupakan sesuatu hal yang ‘unik’ dan telah diperhitungkan baik oleh sang pengarang, sutradara, maupun para pemain yang terlibat proses pementasan. Selain sebagai sarana untuk membangun atmosfir dan suasana baik pembaca maupun penonton, bahasa juga digunakan sebagai media untuk menyampaikan ide atau gagasan dasar pengarang sehingga drama hadir tidak dalam kondisi yang ‘kosong’.

Bahasa dalam suatu karya sastra merupakan ‘’sarana‘’ imajinasi dan kreativitas pengarang. Makna sebuah karya sastra dapat digali dan ditelusuri melalui bahasa yang digunakannya. Dengan demikian, pemakaian gaya bahasa (juga pemilihan kata) sangat menentukan penyampaian makna suatu karya sastra. Pemakaian gaya bahasa itu meliputi bunyi, rangkaian bunyi, kata, rangkaian kata, frase hingga kalimat yang dipilih dan digunakan dengan seksama. Hal-hal semacam itu dapat menimbulkan efek dalam diri pembaca, misalnya untuk menggugah simpati atau empati pembaca (Sukesti, 2003:141). Selain itu pemakaian gaya bahasa juga dimaksudkan agar karya sastra terasa indah (estetis) atau sebagai variasi untuk menghindari kemonotonan.

S.T. Wiyono adalah salah satu penulis naskah drama berbahasa Jawa yang cukup piawai dalam pemakaian gaya bahasa dalam mengungkapkan kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat. Selain itu, pandangan tentang nilai-nilai hidup, pertentangan batin antara perbuatan baik dan buruk juga tercermin dalam naskah drama yang ditulisnya. Salah satu naskah drama hasil karyanya, ‘’Ronggolawe’’ banyak mengungkapkan masalah sosial yang terjadi di masyarakat, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dari pendekatan stilistika.

.

2. Stilistika dan Lingkup Telaahnya

Stilistika ialah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan (Junus, 1989:xvii). Sejalan dengan pendapat di atas, stilistika ialah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, dan (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa (Kridalaksana, 1982:157). Beberapa pengertian itu dapat diringkas: stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra merupakan kesatuan wacana yang memuat seluruh gagasan atau ide pengarangnya. Selain itu, karya sastra juga memiliki gaya bahasa yang umumnya mencerminkan totalitas karya, tidak hanya sekedar bagian-bagian dari aspek bahasa. Dengan demikian, analisis stilistika secara umum dilakukan sebagai upaya untuk menggali totalitas makna karya sastra dan analisis secara khusus yang mencoba melihat gaya bahasa bagian perbagian.

Telah diungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa? Gaya bahasa ialah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seorang penutur dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu pula, dan (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50; Mas, 1990:13-14; Suwondo, 2003:151-152). Dalam buku On Defining Style, Enkvist (Junus, 1989:4), menyatakan bahwa gaya adalah (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan ciri pribadi; (4) penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan ciri kolektif; dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat.

Dengan demikian, stilistika adalah ‘jembatan’ yang memanfaatkan aspek-aspek linguistik (di satu pihak) untuk mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain). Hubungan itu tercipta karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman, 1993:3; Suwondo, 2003:152).

Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). Selain itu, aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat (Pradopo dalam Suwondo, 2003:152).

Dalam studi stilistika, kemungkinan cara pendekatan yang dapat digunakan ada dua macam, yaitu (1) menganalisis sistem linguistik karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna total, dan (2) mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226).

.

3. Pembahasan

Ada dua pembahasan stilistika dalam makalah ini, yaitu secara umum dan secara khusus. Secara umum, artinya penganalisisan pemakaian gaya bahasa yang tersirat dalam keseluruhan cerita, yang menyangkut penokohan, tema, penceritaan, setting, dan pemaknaan cerita. Secara khusus, artinya penganalisisan pemakaian gaya bahasa pada bahasa yang digunakan pengarang dalam naskah lakon ‘’Ronggolawe’’.

.

3.1. Pembahasan secara umum

Naskah lakon ‘’Ronggolawe’’ secara umum menggunakan gaya bahasa kiasan (metafora), yaitu mengkiaskan perilaku manusia yang diwujudkan dalam diri Ronggolawe, Lembu Sora, Prabu Kertarejasa, Patih Nambi, dan Amerta Raga. Penokohan Ronggolawe menggambarkan / mengkiaskan sosok manusia yang begitu setia mengabdi untuk kemajuan, kewibawaan, dan kejayaan negara. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Ronggolawe harus rela kehilangan harta, tahta, keluarga dan nyawanya. Sebuah idealisme yang ‘aneh’ untuk ukuran manusia zaman modern.

Secara umum, naskah lakon “Ronggolawe” menggunakan gaya bahasa kiasan / perumpamaan. Perilaku tokoh-tokoh sentral (Ronggolawe, Lembu Sora, Prabu Kertarejasa) mengkiaskan / mengumpamakan perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Semua penokohan, penceritaan, konflik, tema, bahkan setting adalah simbol kehidupan manusia saat ini. Diangkatnya tokoh Ronggolawe sebagai judul naskah lakon ini karena dia-lah tokoh yang kontroversial (dianggap sebagai trouble maker), karena berani ‘menentang titah’ Prabu Kertarejasa ketika menetapkan Nambi sebagai maha patih Majapahit. Ronggolawe menilai bahwa Nambi bukan figur yang tepat sebagai pemimpin, karena memiliki watak yang licik, culas, yang lebih mementingkan dirinya sendiri.

Selain itu, naskah lakon ini juga memanfaatkan majas pars pro toto yaitu menyatakan sebagian untuk menyebutkan keseluruhan. Artinya yang diceritakan dalam naskah lakon ini ialah perilaku tiga tokoh (utama), yang sebenarnya menyimbolkan keseluruhan perilaku manusia yang beraneka ragam sifat dan tingkahnya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Gaya bahasa klimaks juga turut mewarnai naskah lakon ‘’Ronggolawe’’. Hal ini terlihat ketika konflik penceritaan mulai memuncak antara pihak ‘idealis’ yang berupaya menegakkan kejayaan negara dengan pihak ‘oportunis’ yang mencoba memanfaatkan kesempatan sabda pandita-pangandikane ratu tan kena wola-wali. Pada akhir cerita dikisahkan pertempuran yang seru antara Majapahit dan Tuban, yang juga merupakan klimaks cerita yang juga mengakhiri naskah lakon ini. Dengan demikian, secara umum ada tiga gaya bahasa yang dominan mewarnai naskah lakon ‘’Ronggolawe’’, yaitu kiasan, pars pro toto, dan klimaks.

.

3.2. Pembahasan secara khusus

Dalam naskah lakon ‘’Ronggolawe’’ ST. Wiyono memanfaatkan berbagai gaya bahasa yang dapat menimbulkan efek tertentu pada pembaca dan juga dapat menjaga estetika karya itu sendiri. Secara garis besar, gaya bahasa yang dimanfaatkan ialah (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan leksikal, (2) gaya bahasa berdasarkan bunyi, (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, (4) gaya bahasa berdasarkan makna.

.

3.2.1. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Leksikal

Naskah drama ‘’ Ronggolawe’’ amat menarik dan mampu menggugah pembaca untuk merenung tentang apa maksud naskah lakon ini; permasalahan-permasalahan apa yang sebenarnya disampaikan oleh pengarang; dan harapan-harapan apa yang diinginkan pengarang. Semua itu terjadi dalam suatu wadah naskah lakon dengan pemanfaatan pilihan leksikal (seperangkat leksem) yang pas sehingga mampu memberikan efek estetika, etika, moral, dan hakikat kehidupan pada pembacanya.

Leksem-leksem yang dipilih sebagai gaya bahasa pada naskah lakon ini ialah pemanfaatan kata ganti (pronomina), sinonimi, dan majas pars pro toto.

.

3.2.1.1. Pemanfaatan Kata Ganti

Kata ganti yang dimanfaatkan oleh pengarang di antaranya kata kula, kowe kabeh, sira, bentuk niki dan niku sebagai pembatas kata benda juga digunakan dalam naskah lakon ‘’Ronggolawe’’.

KAWULO II:

…..Lha kulo sak konco niki rak wong cilik tha, wong cilik niku rak mboten sah melu cawe-cawe babagan negara to. Leres ngaten to Ndoro Nggung….(hlm.6)

C.CANDOLO:

Ho..hooo, keliru kuwi…Kowe kabeh malah kudu melu cawe-cawe…Kowe kabeh kudhu nyengkuyung marang negara, kuwi wajib ngono…(hlm.6)

Pronomina demontratif: dari kata-kata Jawa Kuno iki, ike, iku, iko dan ika, hanya iki (menunjukkan suatu yang dekat) dan iku (menunjukkan sesuatu yang jauh) sama seperti dalam bahasa Jawa Modern. Iki dan iku masih dipakai dalam niki dan niku, sebagai pembatas kata benda (Zoetmulder, 1983:551-552). Hal ini terlihat dalam kutipan kulo sak konco niki dan wong cilik niku.

.

3.2.1.2. Pemanfaatan Sinonimi dalam Julukan

Sinonimi dalam analisis naskah drama ini bukan mengacu pada padanan kata secara umum, tetapi kata yang ‘sesuai’ dipadankan atau diterapkan pada kata lain sebagai julukan seseorang yang dianggap cocok oleh penuturnya, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Nuwun sewu gusti prabu,……..menawi wonten kepareng ndalem kulo bade urun pemanggih, mbok menawi saget kanggo tetimbangan (hlm.1)

.

Kata gusti prabu merupakan padanan kata untuk menyebut Raja Majapahit, Kertarejasa.

.

Saur Manuk: Sugeng rawuh…….Ndoro Nggungg……(hlm.6)

Kata Ndoro Nggungg merupakan julukan atau padanan untuk menyebut Tumenggung Cokro Candolo. Selain itu, kata ndoro biasanya digunakan untuk sebutan kalangan bangsawan. Sampai saat ini, panggilan ndoro masih sering kita jumpai dalam lingkungan Jawa yang kental dengan nuansa ‘feodalisme’ atau ‘kratonisme’.

.

KAWULO I:

Tontonan gratis gundulmu apek kuwi……(hlm.5).

.

Penyebutan kata gundulmu merupakan panggilan yang mungkin diucapkan apabila hubungannya cukup dekat atau akrab. Penyebutan kata tersebut muncul dalam dialog antarkawulo sehingga aspek kedekatan/keakraban yang terjadi di antara mereka (kawulo) sangat dimungkinkan.

.

RONGGOLAWE:

Dhiajeng Amertaraga,……kowe pancen wanita utama. Bisa mangerteni marang kerepotane kakung. Aku kepingin mulyaken sliramu dhiajeng, lair tumekaning batin…..(hlm.12).

.

Kata dhiajeng merupakan panggilan sayang terhadap istri. Dalam hal ini pengarang memberikan efek kasih sayang suami-istri yang begitu tulus dan murni. Yang siap menerima baik dalam kondisi senang maupun susah.

.

3.2.1.3. Pemanfaatan Gaya Bahasa Pars Pro Toto

Gaya bahasa Pars Pro Toto ialah gaya bahasa penyebutan sebagian untuk keseluruhan. Dalam naskah drama ini, gaya bahasa Pars Pro Toto digunakan pengarang, salah satunya untuk menimbulkan efek keindahan, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Nyuwun pangapunten, paman……Panjenengan ngertos sinten kulo, semanten ugi kula sampun ngertos sinten panjenengan. Senopati ingkang mboten miris nyawang getih ing tengahing palagan…….(hlm.10)

Getih sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan ‘manusia’. Sebenarnya pengarang dapat saja mengatakan ‘’Senopati yang tidak tega melihat manusia mati di tengah pertempuran’’. Namun, pengarang bermaksud membangun estetika dan efek karya terhadap pembaca atau penonton, maka digunakanlah gaya bahasa pars pro toto dengan penyebutan getih untuk penyebutan manusia.

RONGGOLAWE:

Ronggolawe, ……..ora lila menawa negara Majapahit kang wus dibangun kanthi banten tetesing kringet getih lan bangkene kawula alit, bakal njegur marang jurang kanistan, bakal ambyar muspra. Awit para panguwasa wis ora gelem nampa usule kawula….. (hlm.4).

.

Kringet, getih, lan bangkene merupakan bagian-bagian dari keseluruhan ‘manusia’. Dalam hal ini pengarang ingin menampilkan efek penguatan pengorbanan yang telah dilakukan oleh kawula alit atau rakyat.

.

KAWULO I:

Tontonan gratis gundulmu apek kuwi……(hlm.5).

.

Kata gundulmu merupakan bagian dari keseluruhan ‘manusia’. Dalam hal ini pengarang ingin menunjukkan bahwa hubungan antarkawula sedemikian dekat dan akrab sehingga digunakan kata gundulmu.

.

.

3.2.2. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Bunyi

Bunyi dapat digunakan sebagai gaya bahasa untuk menimbulkan suatu efek pada karya sastra. Gaya bunyi ini ialah aliterasi dan asonansi. Yang dimaksud aliterasi ialah perulangan bunyi pada tiap awal kata, dan yang dimaksud asonansi ialah perulangan bunyi pada tiap akhir kata. Dalam naskah drama ‘’Ronggolawe’’ ditemukan gaya bahasa berdasarkan bunyi asonansi, seperti pada kutipan berikut.

.

KAWULO I: Geger………geger gember……..ewer…….ewer……… (hlm.5).

.

Bunyi er pada geger, gember, dan ewer mengisyaratkan bahwa ada efek penggiringan makna dari ‘geger’ yang bermula dari adu argumentasi menjadi adu prinsip bahkan kekuatan antara Majapahit dan Tuban.

.

KAWULO II :

…….Awake dewe ki ra wong cilik, ongklak-angklik…..linggih dingklik, bendino mangane gogik…wong cilik sing ora biso nentokke apa-apa, ora bisa nggawe owah-owahan, apa maneh urusan negara…..(hlm.5)

Bunyi ik pada kata-kata cilik, angklik, dingklik, dan gogik memperjelas gambaran tentang kehidupan wong cilik yang serba kekurangan, yang seakan-akan tidak mempunyai hak apa-apa atas kebesaran dan kejayaan sebuah negara. Yang ada hanyalah kewajiban dan kewajiban terhadap negara.

.

3.2.3. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri atas gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi (Keraf, 1984). Dalam naskah drama ‘’Ronggolawe’’ ditemukan gaya bahasa klimaks, paralelisme, dan repetisi.

.

3.2.3.1. Pemanfaatan Gaya Bahasa Klimaks

Gaya bahasa klimaks ialah pengungkapan sesuatu yang bersifat periodik dengan urutan dari sesuatu yang ‘lemah’ menjadi sesuatu yang ‘kuat’ yang diwujudkan dalam satu kalimat atau beberapa kalimat, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Paman Lembu Sora,…..ing tengahing palagan mboten wonten sanak kadang, Bapa kalayan putro. Ingkang wonten naming mungsuh ingkang kedah dipun sirnakaken….(hlm.10)

.

Kutipan tersebut memberikan gambaran betapa kejamnya peperangan. Perang tidak lagi memandang hubungan kekeluargaan, tidak ada hubungan Bapak dengan anak. Yang ada hanya musuh yang harus dimusnahkan. Perang hanya memberi pilihan membunuh atau dibunuh.

.

3.2.3.2. Pemanfaatan Gaya Bahasa Paralelisme

Gaya bahasa paralelisme ialah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf, 1984). Gaya bahasa tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut.

.

LEMBU SORA:

Njur apa tegel yen aku kudu mateni ponakanku dewe…. Ponakan sing banget ndak tresnani, sing ndak gulo wenthah wiwit cilik nganti tataraning kadewasaan….(hlm.10)

.

Kutipan tersebut menimbulkan efek adanya dominasi rasa cinta seorang paman (Lembu Sora) terhadap keponakannya (Ronggolawe), tetapi tuntutan tugas negara menghendaki lain. Dengan menampilkan kesejajaran kata ponakanku dewe, ponakan sing banget ndak tresnani, sing ndak gulo wenthah wiwit cilik nganti tataraning kadewasaan dalam sebuah paralelisme, semakin memperjelas dan mempermudah mengerti pembaca atau penonton untuk mengetahui seberapa dalam rasa sayang dan cinta Paman Lembu Sora terhadap Ronggolawe.

.

RONGGOLAWE:

Ronggolawe, ……..ora lila menawa negara Majapahit kang wus dibangun kanthi banten tetesing kringet getih lan bangkene kawula alit, bakal njegur marang jurang kanistan, bakal ambyar muspra. Awit para panguwasa wis ora gelem nampa usule kawula….. (hlm.4).

.

Dengan ditampilkannya kata-kata kringet, getih, lan bangkene dalam satu rangkaian paralelisme. Pengarang ingin menampilkan efek penguatan tentang pengorbanan rakyat yang sedemikian besar. Tidak hanya tenaga, dan harta nahkan sampai nyawa pun mereka siap untuk memberikannya demi kejayaan dan kebesaran negara.

.

3.2.3.3. Pemanfaatan Gaya Bahasa Repetisi

Gaya bahasa repetisi memiliki jenis tautoles, anafora, epifora, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf, 1984). Dalam naskah drama ‘’ Ronggolawe’’ ditemukan gaya bahasa tauteles, anafora, dan mesodiplosis

.

1) Tautoles

Gaya bahasa tautoles ialah gaya bahasa repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi, seperti pada contoh berikut.

LEMBU SORA:

Perang kuwi tetep kejem……Perang kang dumadi saka sunaring katresan bakal medhot sesambunganing katresnan sanak kadang, antarane Bapak karo anak…….Perang bakal medhot sesambunganing katresnan antaraning manungso, uga alam lan lingkungan…..(hlm.11).

.

Kutipan di atas, pengarang ingin menakankan bahwa perang merupakan suatu perbuatan yang kejam. Perang dapat memutuskan hubungan kekeluargaan dan memutuskan hubungan manusia dengan alam. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk membenarkan terjadinya suatu peperangan.

.

2) Anafora

Gaya bahasa anafora ialah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada setiap baris atau pada tiap kalimat berikutnya, seperti contoh berikut.

.

LEMBU SORA:

Ronggolawe cilik sing nakal, saban sore tak gendhong, tak tembangke kidung-kidung satriya tama….Ronggolawe sing wiwit cilik tak gegulang olah kanuragan, ndak gadhang mbesuk dadia satria tama kang migunani tumraping nusa lan bangsa (hlm.10).

.

Kutipan di atas, mengandung perulangan pada awal kata, yaitu Ronggolawe. Hal itu memberikan efek bahwa Lembu Sora mengasuh Ronggolawe sejak kecil dengan penuh kasih sayang, agar dapat menjadi satria utama yang berguna bagi nusa dan bangsa.

.

3) Mesodiplosis

Gaya bahasa mesodiplosis ialah gaya bahasa perulangan kata atau kelompok kata di tengah-tengah baris kalimat atau pada kalimat-kalimat yang berurutan, seperti pada kutipan berikut.

.

LEMBU SORA:

Ronggolawe cilik sing nakal, saban sore tak gendhong, tak tembangke kidung-kidung satriya tama….Ronggolawe sing wiwit cilik tak gegulang olah kanuragan, ndak gadhang mbesuk dadia satria tama kang migunani tumraping nusa lan bangsa (hlm.10).

.

Dengan adanya perulangan kata tak gendhong, tak tembangke kidung-kidung satriya tama, dan tak gegulang olah kanuragan menimbulkan efek penekanan bahwa hubungan Lembu Sora begitu dekat dengan Ronggolawe. Selain itu, ada efek bahwa si Lembu Sora merupakan paman yang baik karena ia menyayangi, mengasuh, dan mendidik seorang Ronggolawe dengan harapan agar kelak ia menjadi satria utama.

.

3.2.4. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Makna

Gaya bahasa berdasarkan makna terdiri atas kiasmus, pleonasme, perifrasis, silepsis, hiperbol, paradoks, oksimoron, simile, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hiplase, dan sarkasme (Keraf, 1984). Dalam naskah drama ‘’ Ronggolawe’’ ditemukan gaya bahasa hiperbola, paradoks, sarkasme, personifikasi, dan perifrasis.

.

3.2.4.1. Hiperbola

Gaya bahasa hiperbola ialah gaya analogi yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Diajeng Amerta Raga…..Kaya-kaya aku kepingin nyimpen sliramu ana ing telenging dadaku, tak gawa saparan-paran, ana tengahing kasusahan lan kabungahan, saiki nganti mbesuk ing akerat (hlm. 13).

.

Dalam kutipan tersebut tampak bahwa ada pelebihan makna ‘mencintai dari dunia sampai akhirat. Ungkapan-ungkapan perasaan cinta Ronggolawe terhadap istrinya terkesan begitu mendalam. Hal ini terbukti dengan kutipan aku kepingin nyimpen sliramu ana ing telenging dadaku, tak gawa saparan-paran, ana tengahing kasusahan lan kabungahan, saiki nganti mbesuk ing akerat.

.

KAWULO III:

Wah …ojo gawe bingung lho kang…..tak tempiling malah semaput kowe mengko (hlm.4)

.

Ungkapan tak tempiling malah semaput kowe mengko merupakan gaya bahasa hiperbola, karena jarang ada orang yang pingsan hanya karena ditampar. Hal ini biasanya digunakan untuk menakut-nakuti orang lain agar tidak semaunya sendiri.

.

3.2.4.2. Paradoks

Gaya bahasa paradoks ialah gaya yang mengandung pertentangan yang nyata sesuai dengan fakta-fakta yang ada, seperti pada kutipan berikut.

RONGGOLAWE:

Perang panci kejem, paman……..nanging ugi mujudake sunaring katresnan dating sesami ugi dating alam lingkunganipun….. (hlm. 10)

.

Ungkapan perang panci kejam disandingkan dengan ungkapan mujudake sunaring katresnan dating sesami ugi dating alam lingkunganipun merupakan sesuatu hal yang mengandung pertentangan yang amat nyata. Padahal katresnan atau cinta itu tidak seperti perang. Karena cinta tidak pernah membunuh dan tidak kejam. Cinta selalu penuh dengan kasih saying, sedangkan perang tidak demikian.

.

3.2.4.3. Sarkasme

Gaya bahasa sarkasme ialah gaya bahasa yang mengandung makna mengejek, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Jalaran ajrih menawi kecalan drajat lan pangkatipun. Tiyang ingkang kados mekaten meniku ramung mentingaken bondo donya, kangge blendukake wetenge dewe. Mboten tulus anggenipun ngabdi kangge kawibawan lan katentreman kawula……(hlm.3).

.

Ungkapan kangge blendukake wetenge dewe merupakan gaya bahasa sarkasme untuk menyebut orang-orang yang tidak berani menyuarakan kebenaran, takut kehilangan pangkat dan jabatan. Mereka lebih memilih untuk diam daripada harus bersuara menentang arus apalagi menentang sabda pandita ratu.

.

RONGGOLAWE:

Nyuwun pangapunten, paman……Panjenengan ngertos sinten kulo, semanten ugi kula sampun ngertos sinten panjenengan. Senopati ingkang mboten miris nyawang getih ing tengahing palagan, ugi sampun mangertos sepinten tataraning kaprajuritan dalah olah kanuragan (hlm.10).

.

(LEMBU SORA TIBA-TIBA MENCABUT KERIS…..(MUSIK BERUBAH)……LEMBU SORA MAJU……)

RONGGOLAWE: Paman Lembu Sora, ……dereng wancinipun, paman……..

.

Adanya kata-kata ‘’kula sampun ngertos sinten panjenengan. Senopati ingkang mboten miris nyawang getih ing tengahing palagan, ugi sampun mangertos sepinten tataraning kaprajuritan dalah olah kanuragan’’ dan ‘’dereng wancinipun, paman’’ ketika Lembu Sora mencabut keris merupakan hinaan, ejekan dari si penutur (Ronggolawe) terhadap senopati dari Majapahit.

.

KAWULO I:

Tontonan gratis gundulmu apek kuwi……(hlm.5).

.

Penggunaan kata gundulmu merupakan gaya baya sarkasme. Gundulmu di sini merujuk pada penyebutan kepada seseorang yang hubungannya sudah sedemikian akrab. Apabila tidak begitu akrab tentu saja akan sangat menyinggung dan menyakitkan bagi orang yang disebutnya.

.

3.2.4.4. Personifikasi

Gaya bahasa personifikasi ialah gaya bahasa yang menganggap benda mati dapat seolah-olah bertindak seperti benda hidup, seperti pada kutipan berikut.

.

RONGGOLAWE:

Kulo kaliyan kawulo Tuban sampun manunggal tekad notohaken jiwa raga, bondho donya, kanggo jejegaken pranathan Majapahit… gegayuhan menika mboten kangge kulo pribadi. Kulo kaliyan kawulo sedoyo, kepingin mbenjang anak putu sageto ngenyam kamukten negari Majapahit (hlm.9).

.

Kutipan kanggo jejegaken pranathan Majapahit dan ngenyam kamukten negari Majapahit merupakan gaya bahasa personifikasi. Majapahit sebagai negara diibaratkan ‘manusia yang terpuruk’ karena dipimpin oleh penguasa-penguasa yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya. Untuk itu, Ronggolawe dan rakyat Tuban menyatukan tekad, siap berkorban harta, benda dan nyawa untuk mengembalikan kejayaan Majapahit. Efek yang muncul dari kutipan di atas, yaitu semangat yang begitu menggebu-gebu untuk membesarkan kejayaan negara. Tidaklah mengherankan, apabila Majapahit dahulu menjadi negara yang besar karena rakyat dan satria-satrianya begitu berani dan tulus berkorban demi kejayaan negara.

.

RONGGOLAWE:

Ronggolawe, ……..ora lila menawa negara Majapahit kang wus dibangun kanthi banten tetesing kringet getih lan bangkene kawula alit, bakal njegur marang jurang kanistan, bakal ambyar muspra. Awit para panguwasa wis ora gelem nampa usule kawula…. (hlm.4).

.

Kutipan Majapahit…..bakal njegur marang jurang kanistan, bakal ambyar muspra merupakan pemanfaatan gaya bahasa personifikasi. Majapahit sebagai negara diibaratkan sebuah ‘kendaraan’ sedangkan panguwasa diibaratkan ‘supir’-nya.

.

3.2.4.5. Perifrasis

Gaya bahasa perifrasis ialah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlebihan yang sebenarnya mubazir, seperti kutipan berikut.

.

LEMBU SORA:

Ronggolawe,…..Jejering senopati aku bakal ngadepi sapa wae ing tengahing palagan…..Nanging jejering manungso aku ngenggoni rasa kamanungsan…..Njur apa tegel yen aku kudu mateni ponakanku dewe…. Ponakan sing banget ndak tresnani, sing ndak gulo wenthah wiwit cilik nganti tataraning kadewasaan….(hlm.10)

.

Setiap manusia pasti memiliki rasa kemanusiaan. Penggunaan kata rasa kamanungsan merupakan kata yang berlebihan. Namun, justru menimbulkan efek penyengatan peristiwa konflik batin Lembu Sora yang bimbang ketika harus menjalankan tugas negara atau menyelamatkan Ronggolawe, yang masih terhitung keponakannya sendiri.

.

RONGGOLAWE:

Ronggolawe, ……..ora lila menawa negara Majapahit kang wus dibangun kanthi banten tetesing kringet getih lan bangkene kawula alit, bakal njegur marang jurang kanistan, bakal ambyar muspra. Awit para panguwasa wis ora gelem nampa usule kawula…. (hlm.4).

Kegiatan njegur selalu menunjukkan ke bawah, sehingga penggunaan kata marang jurang kanistan merupakan kata yang berlebihan. Namun, justru menimbulkan efek penguatan atas peristiwa tersebut. Begitu pula dengan kata ambyar berarti sudah hancur tidak berbentuk, masih diikuti dengan kata muspra yang berarti hilang. Penggunaan kedua kata itu secara bersamaan memberikan efek penguatan ‘hancur lebur’. Jadi sebuah negara besar akan masuk ke dalam jurang kenistaan dan hancur lebur kalau para pemimpinnya tidak lagi mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh rakyatnya.

.

4. Penutup

Kejelian dan kelihaian ST. Wiyono dalam memilih gaya bahasa membuat ‘’Ronggolawe’’ hadir tidak hanya mempunyai estetika yang tinggi, tetapi juga mempunyai pemaknaan yang dalam. Salah satu faktor pembentuknya adalah penggunaan gaya bahasa yang cermat. Oleh sebab itu, telaah stilistika sangat penting sebagai salah satu dasar untuk menganalisis suatu karya sastra, tidak hanya berhenti pada analisis kebahasaan tetapi sampai menganalisis bagaimana gaya pengarang dalam setiap penciptaan karyanya.

.

5. Daftar Pustaka

Junus, Umar. 1989. Stilistika: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Komposisi. Ende: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sukesti, Restu. 2003. ‘’Cerpen Derabat Karya Budi Darma: Analisis Stilistika’’ dalam Widya Parwa.Yogyakarta: Pusat Bahasa – Departemen Pendidikan Nasional.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta : Hanindita.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Wiyono, S.T. tt. Naskah Lakon : Ronggolawe.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

.

.

______________

Artikel ini dimuat pada Linguistika Jawa: Jurnal Ilmiah Linguistik – Vol 2  No.02 Agustus 2004 – ISSN 1412 – 9965