Konservasi dan Komersialisasi Borobudur: Sebuah Kajian Kebijakan Publik dalam Bidang Pariwisata Budaya di Jawa Tengah

Candi Borobudur

Candi Borobudur

Oleh:
Asep Yudha Wirajaya*

Abstrak

Fenomena dikeluarkannya Candi Borobudur dari daftar tujuh keajaiban dunia oleh kelompok “The New Seven Wonder” mestinya membuat para stakeholder pariwisata Indonesia pada umunya dan Jawa Tengah pada khususnya mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang selama ini telah dilaksanakan. Terlepas bahwa fenomena tersebut terjadi karena adanya kekuatan pengaruh politik bisnis pariwisata internasional. Tentu saja hal ini cukup menyulitkan untuk pengembangan pariwisata di Jawa Tengah. Untuk itu perlu ada langkah konkrit dari semua stakeholder yang terkait agar Borobudur tetap dapat menjadi ikon pariwisata Indonesia sehingga mampu memberikan kontribusi positif baik dalam pembangunan daerah maupun nasional.

Kata kunci: Borobudur, konservasi, komersialisasi dan kebijakan

1. PENDAHULUAN

Kuatnya pengaruh politik bisnis pariwisata internasional memang telah membawa dampak yang luar biasa. Hal ini terlihat dengan mencuatnya fenomena tidak ditetapkannya candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia oleh kelompok The New Seven Wonders. Akibatnya candi Borobudur sebagai ikon pariwisata Indonesia tersisihkan begitu saja. Padahal fakta menunjukkan bahwa Borobudur merupakan Candi Budha terbesar di dunia yang sangat menakjubkan, baik dari sisi pemilihan tata letak candi dengan ilmu tata ruang tingkat tinggi, konstruksi bangunan dan pemilihan strukutur tanah yang kuat, maupun estetika keindahan bentuk dan berbagai ornamen yang mengisahkan sejarah dan ajarannya.

Untuk ukuran saat ini pun sebenarnya keistimewaan Borobudur belum dapat tertandingi. Bahkan sekarang ini, jika para insinyur arsitek, geologi, geodesi, tata ruang dan sipil yang ahli dalam bidang pondasi disatukan dalam tim kerja sekalipun belum tentu dapat merancang candi di atas bukit dengan berbahan batu yang beratnya ribuan ton. Tinggi candinya saja sekitar 35,29 meter dan dibuat di atas tanah seluas 14.161 meter2 dengan tumpukan batu bervolume 55.000 meter3 serta dihiasi dengan arca Budha sebanyak 504 buah.

Karenanya, tidaklah mengherankan jika pada tahun 1991 UNESCO menetapkan Candi Borobudur sebagai salah satu warisan dunia yang wajib dilestarikan dan termaktub dalam World Heritage List Nomor 592. Pengakuan yang secara regular diperbaharui oleh komite itu kini dijelaskan pada aturan dan panduan baru, yakni “Operational Guidelines for The Implementation of World Heritage Convention 2005”. Dalam panduan itu, Borobudur memiliki tiga kesamaan kriteria, yaitu kriteria pertama (menggambarkan sebuah karya besar dari kecerdasan dan kreativitas manusia), kedua, (menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting sepanjang masa dan berlaku di seluruh dunia yang memiliki budaya beraneka ragam) dan keenam (langsung menyatu dengan kegiatan-kegiatan atau tradisi kehidupan, pikiran, seni dan sastra). Selain itu, Candi Borobudur juga pernah menerima penghargaan pariwisata khusus dari PATA Gold Award untuk kriteria objek peninggalan budaya dan warisan sejarah. Penghargaan ini diterima setelah menyisihkan 350 nominator objek wisata dari enam negara lain di dunia (Andri, 2007).

2. PEMBAHASAN

2.1. Melacak Jejak Historisitas Borobudur

2.1.1. Pendiri Candi Borobudur

Kehadiran candi-candi yang terbuat baik dari batu andesit, batu padas maupun batu bata, bentuknya sangat unik dan mirip bangunan kuil Hindu di India, telah menarik perhatian banyak pihak, termasuk para peneliti arkeologi. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditelusuri kembali jejak-jejak historisitas keberadaan candi yang selama ini masih menjadi misteri.

Berdasarkan hasil penelitian Santiko (2007) diketahui bahwa hubungan antara India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah lama terjalin dalam bentuk jalinan ekonomi. Hubungan yang bermotif komersial ini kemudian berkembang ke arah hubungan yang bersifat keagamaan. Hal itu dimungkinkan karena awal hubungan dagang India – Indonesia waktunya hampir bersamaan dengan perkembangan agama Budha, yang mewajibkan para pendetanya untuk menyebarkan agama tersebut.

Salah satu usaha para biksu itu dilakukan dengan cara ikut kapal-kapal dagang India. Kehadiran para biksu ini dibuktikan dengan penemuan arca-arca Budha di situs-situs yang dekat dengan alur perdagangan, misalnya arca Budha dari Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad ke-2 Masehi. Di Kota Bangun (Kutai) ditemukan pula arca-arca Budha gaya Gandhara yang diperkirakan dari abad ke-2 atau abad ke-3 Masehi. Demikian pula sebuah arca Budha ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang, dari masa yang sama dengan kedua arca tersebut.

Berbeda dengan pendeta Budha, pendeta agama non-Budha, yakni agama Veda dan Hindu, tidak menyebarkan agamanya seperti halnya para biksu, tetapi mereka datang atas undangan para raja yang memerlukan pertolongan untuk melaksanakan suatu upacara agama. Salah satu contohnya terdapat pada prastasi yang disebut Yupa dari tepi Sungai Muarakaman. Para wipra (pendeta ahli Veda) pernah diundang oleh raja-raja Kutai untuk menjalankan upacara agama di lapangan suci (ksetra) yang disebut Vaprakesvara.

Di samping pendeta-pendeta India secara aktif menyebarkan agamanya di Indonesia, terdapat orang-orang Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama. Hal ini juga disebutkan minimal oleh dua buah prasasti. Bahkan, menurut salah satu prasasti itu, seorang raja Sriwijaya telah meminta kepada raja dari Dinasti Pala untuk membuatkan tempat tinggal para pelajar Indonesia tersebut di Nalanda. Para pelajar inilah yang memegang peranan penting dalam pendirian candi-candi di Jawa.

Para pelajar tersebut belajar membuat kuil dan kelengkapannya seperti arca dan relief dari kitab Vastusastra. Selain itu, mereka juga mengunjungi pusat-pusat kesenian agama dan berbagai kuil di India. Dari situlah mereka kemudian membuat replika bangunan suci, dan hasilnya sangat terpengaruh oleh pengetahuan serta kemahiran si pembuat. Replika-replika tersebut kemudian dibawa pulang untuk dijadikan contoh candi yang akan didirikan di Indonesia (Santiko, 2007). Oleh karena itu, para peneliti candi hingga sekarang belum pernah menemukan naskah Vastusastra baik di Jawa maupun di tempat-tempat lain di Indonesia (bdk. Sukatno C.R., 2004).

Asumsi bahwa pembuatan Candi Borobudur dilakukan oleh para seniman (siplin) Indonesia diperkuat dengan adanya beberapa bukti, seperti: pertama, adegan pada relief-relief Candi Borobudur menggambarkan kehidupan sehari-hari di Jawa. Misalnya, orang-orang yang berjualan di pasar, orang menanam padi di sawah, memanen dan memikul padi, dukun menolong kelahiran bayi, dan sebagainya.

Kedua, Panil di atas relief Mahakarmawibhanga yang dipahat di kaki Candi Borobudur yang tertutup, terdapat tulisan (inskripsi) yang berupa kata-kata petunjuk bagi para seniman pemahat adegan pada panil-panil tersebut. Petunjuk itu ditulis dengan aksara Jawa Kuno (bukan Deva-Nagari). Kalaupun ada kata-kata Sanskerta, itu tidak ditulis secara benar, maksudnya tidak diberi akhiran kasus tertentu. Misalnya, untuk pemahatan surga hanya ditulis “swargga” tanpa disertai akhiran (ber-)kasus. Sebab, bila isnkripsi itu ditulis oleh orang India, maka kalau yang digambarkan di surga harus diberi akhiran kasus lokatif, yakni menjadi “swargge” ; atau makhluk surga, maka kata swargga harus diberi akhiran kasus genetif, dan sebagainya. Petunjuk tanpa akhiran kasus, bagi seniman Jawa Kuno tidak masalah, demikian pula aksara Jawa Kuno adalah aksara mereka. Berbeda bagi para siplin atau seniman India, petunjuk tanpa akhiran kasus akan membuat mereka kesulitan untuk memahatkan adegan pada panil candi. Terlebih lagi aksara Jawa Kuno bukanlah aksara yang mereka kenal.

Ketiga, ketika para arkelog melakukan penelitian di sekitar candi-candi, mereka tidak pernah menemukan sisa-sisa “kampoeng keling”. Apabila benar orang-orang India yang mendirikan candi-candi di Indonesia, tentunya hal itu akan memakan waktu lama dan dengan sendirinya mereka akan menetap di sekitar candi yang sedang dibangunnya (Santiko, 2007).

2.1.2. Genealogi: Wangsasanjaya dan Wangsasailendra

Berdasarkan keterangan dalam naskah Pustaka Rajyawarnana i Bhumi Nusantara yang merupakan parwa kedua dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara susunan “Panitia Wangsakerta” dari Cirebon yang keseluruhannya berjumlah 26 jilid diketahui bahwa mula-mula di Jawa Tengah hanya ada satu wangsa, yaitu Kelingwangsa. Setelah wangsa itu “menyingkir” ke Jawa Timur, muncul Sanjayawangsa yang masih ada tautan keluarga dengan Kelingwangsa, karena istri Sanjaya yang bernama Dewi Sudhiwara berasal dari keluarga tersebut. Melalui perkawinan Yasodhara dengan Dharaindra, keluarga Sailendra sebagai menantu mulai memperoleh wilayah kekuasaan di bagian selatan. Pemisahan kekuasaan itu berlangsung selama 91 tahun (755 – 846), yaitu sejak Dharaindra berkuasa sebagai raja daerah selatan, yaitu di Bhumisambara (755 – 782), kemudian selama 19 tahun berikutnya (782 – 801), ia menjadi maharaja Dharaindra, kemudian ia digantikan oleh anaknya, Samaratungga atau Samaragrawira yang memerintah selama 45 tahun (801 – 846). Karya besar kedua orang itu adalah memprakarsai pembangunan stupa Bhahadur yang digambarkan “bagaikan gunung di pulau Jawa”.

Pada waktu yang bersamaan Rakai Panunggalan yang nama gelarnya Dyah Panunggalan Bhimaparakrama Linggapawitra Jawabhumandala berkuasa di bagian utara, yaitu di daerah Mamratipura (=Medang) selama 18 tahun (782 – 800). Jika wangsa Sailendra di bagian selatan beragama Budha, wangsa Sanjaya yang berkuasa di bagian utara beragama Shiwa. Panunggalan mempunyai dua orang anak, yaitu Rakai Warak Dyah Watukura Lingganarottama Satyajayabhumi dan Rakai Garung Dang Rakarayan Pu Palar. Rakai Warak yang menggantikan ayahnya menjadi raja selama 19 tahun (800 – 819) tidak mempunyai anak sehingga kemudian ia digantikan oleh adiknya, Rakai Garung, yang berkuasa selama 21 tahun.

Samaragrawira mempunyai dua orang istri, seorang di antaranya menjadi permaisuri. Dari permaisuri itulah lahir anak perempuan bernama Pramordyawardhani yang juga dikenal sebagai Sri Kahulunan sedangkan dari istrinya yang lain lahir anak laki-laki bernama Balaputradewa. Rakai Garung yang tidak disebutkan nama istrinya mempunyai anak laki-laki, Rakai Pikatan Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakabhumandala yang kemudian menjadi raja selama 16 tahun (840 – 856).

Perkawinan antarwangsa kemudian terjadi lagi. Kali ini antara Rakai Pikatan dan Pramodyawardhani. Dengan perkawinan itu, wilayah yang semula terbagi ke dalam dua wangsa, bersatu kembali ke dalam keluarga Sanjayawangsa, karena Pikatan berasal dari keluarga Sanjaya (Ayatrohaedi, 2005: 115 – 118; bdk. Lombard,1996; Siagian, 2002; Sukatno C.R., 2004). Informasi naskah tersebut juga menjelaskan bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari Hujungmedini (Semenanjung Melayu), sekaligus pula meluruskan pendapat Purbatjaraka dan Buchari yang selama ini berasumsi bahwa wangsa Sailendra berasal dari Indonesia (Ayatrohaedi, 2005: 117)

2.2. Borobudur: Korban Ideologisasi Pembangunan

Istilah “pembangunan” pada masa orde baru seakan menjadi kata yang sedemikian sakti dan sekaligus sakral. Pembangunan mengalami masifikasi dan mistifikasi yang demikian hegemonik dan kooptatif. Dalam konteks ini “membangun” dan “pembangunan-isme” versi kekuasaan – baik kekuasaan dalam arti politik maupun kekuasaan pada umumnya – menjadi kebijakan model utama pembangunan (mainstream models of development) yang dianggap valid dan tidak boleh dikritisi apalagi didekonstruksi.

Dengan model pembangunan semacam itu, disadari atau tidak menurut Friedman (1992), telah mengalami ideologisasi pembangunan-isme yang muaranya mendorong pada terjadinya proses systematic disempowermen melalui kekuatan dan kekerasan. Proses sistematik ini pada masa orde baru dilaksanakan dengan sedemikian canggih dan hegemonik sehingga hampir-hampir tidak diketemukan lagi wilayah publik (public space) yang bersih dan steril dari intervensi kekuasaan. Seluruh pranata kehidupan dan aktivitas sosial, budaya dan keagamaan masyarakat tereduksi, terstrukturasi, tersistematisasi habis-habisan untuk mengabdi pada kepentingan pembangunan, yang nota bene dapat sekaligus menjadi jalan “mesias baru” (baca: ideologisasi masyarakat untuk dapat keluar dari belitan kemiskinan, penderitaan dan seluruh problem solving masyarakat lainnya, menuju ke alam kegemilangan, yang dalam bahasa orde baru disebut dengan istilah “menuju tinggal landas” (Sukatno C.R., 2004: 29 – 30). Nampaknya, meski orde telah berganti, kebijakan tersebut masih saja berjalan dengan istilah yang berbeda tentunya. Akibatnya, perencanaan atas pengembangan kawasan wisata unggulan ini tidak pernah dapat dibuat secara integral yang lebih berorientasi pada langkah-langkah konservasi. Malah justru, aspek komersialisasinya yang lebih diutamakan dengan dalil pembenaran yang bernama “devisa”.

Atas nama “devisa” itulah negara merasa berhak untuk memangkas peran dan fungsi lembaga-lembaga mediasi masyarakat hanya sebagai instrumen kekuasaan. Selain itu, tujuan dari pranata kehidupan dan aktivitas sosial-budaya-religi masyarakat harus merelakan dirinya secara habis-habisan menjadi instrumen pendukung kebijakan makro tanpa reserve. Ia harus sepenuhnya menyuarakan seluruh kepentingan kekuasaan tersebut.

Padahal, tujuan utama dari pranata kehidupan dan aktivitas sosial masyarakat sebagai institusi dan mediasi lokal yang merupakan hasil prestasi dan presentasi sejarah dan budaya masyarakat yang dikembangkan selama berpuluh bahkan beratus tahun lalu, mestinya dapat membangun kearifan sosial dan tradisional. Kearifan inilah yang nantinya secara praktis dapat dijadikan tempat bagi masyarakat untuk terus berproses dalam melakukan identifikasi diri (self on identifications) sebagai bagian anak bangsa Indonesia, hidup dan berperilaku sosial-budaya-spiritual. Inilah wujud wahana dan mediasi yang paling dekat, nyata dan praktis dalam kehidupan serta kebutuhan sosial keseharian mereka.

Namun, agaknya semua itu kini telah mengalami falsifikasi deviasi bahkan reduksi yang teramat parah. Akibatnya institusi mediasi lokal tersebut menjadi kehilangan wacana-wacana primordialnya yang selama ini menjadi watak masyarakat, ketika mereka mencoba membangun agregasi sosial dalam nuansa kolektivitas yang paternalistik dan kompromistik. Padahal, semua hal itu terbukti mampu menyelesaikan segala problem-problem keseharian praktis mereka sebelumnya.

Pembangunan versi penguasa sebagai model arus utama (mainstream models of development) yang dilaksanakan negara secara hegemonik, disadari atau tidak juga berakibat pada hancurnya lingkungan hidup dan sistem keanekaragaman hayati. Hal ini nampak nyata dalam dunia pertanian. Kebijakan pertanian melalui intensifikasi pertanian lewat panca usaha pertanian, menyebabkan negara pada tahun 1983 mampu mencapai surplus pangan (swasembada beras). Bahkan presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO, sebagai model kepala negara yang berprestasi gemilang karena mampu mengatasi krisis pangan negerinya. Hal itu jelas memberikan harapan besar pada masyarakat. Namun ternyata semua itu hanya ironi. Sebab pada tahun-tahun berikutnya, jangankan dapat mempertahankan swasembada beras yang seharusnya juga mampu memberdayakan kehidupan petani, yang terjadi justru sebaliknya, krisis pangan mengintai. Sebuah krisis yang memuncak pada masa-masa akhir orde baru, yang merembet pada serangkaian krisis multidimensi hingga menyusul terjadinya reformasi.

Seiring dengan kebijakan tersebut, ternyata juga memiliki andil besar dalam perubahan paradigma atau pola pikir masyarakat serta pola konsumsi masyarakat. Masyarakat merasa gengsi dan ketinggalan zaman bila tidak makan nasi atau ketika harus mengkonsumsi makanan lokal, meski sejak beberapa ratus tahun lamanya di daerah tersebut telah menjadi makanan pokok. Bahkan dengan makan atau mempertahankan makanan lokal, dalam kesadaran kognitif masyarakat tumbuh semacam rasa dirinya menjadi “masyarakat kelas dua” (miskin). Akibatnya, mereka dengan susah payah berusaha mengganti makanan pokoknya dari makanan lokal menjadi nasi, sebagai bentuk nilai simbolik dari peningkatan status dan gengsi sosialnya (Sukatno C.R., 2004: 31 – 33).

Dalam konteks dunia pariwisata, tentu saja perubahan paradigma masyarakat ini mengakibatkan masyarakat terjebak ke dalam pola pikir “irama perut”. Artinya jika kelaparan mengancam, maka semua akan dirambah dan ditaklukan. Begitulah etos kerja masyarakat petani yang mungkin tidak ada duanya di dunia ini. Hasilnya, lihatlah hamparan perkebunan kentang yang membentang luas di Dataran Tinggi Dieng (lihat Wirajaya, 2009). Lihatlah hamparan perkebunan teh di Dataran Tinggi Segoro Gunung dan Ngargoyoso – Karanganyar (lihat Wirajaya, 2006). Yang kesemuanya memberikan ancaman longsor serius bagi situs-situs purbakala Dieng dan Lawu (Candi Cetha – Candi Sukuh). Hal serupa pun terjadi di wilayah Borobudur, hamparan tower penguat sinyal handphone tinggi menjulang. Sungguh sebuah pemandangan ironi atas peninggalan candi yang luar biasa ini. Kondisi inilah yang kemudian membuat UNESCO pernah mengeluarkan ancaman yang isinya akan mencoret Borobudur dari daftar warisan budaya dunia.

2.2.1. Kapitalisme: Politik – Bisnis Pariwisata Internasional

Tidak ditetapkannya Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia dan penetapan larangan terbang bagi 51 maskapai Penerbangan Indonesia di Wilayah Uni Eropa, sebenarnya merupakan sentimen negatif politik pasar kapitalis yang memang cukup menyulitkan untuk pengembangan pariwisata di Indonesia pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya. Bila dicermati dengan seksama, kedua hal itu sangat terkait dengan gencarnya pemberitaan isu terorisme yang menurut sinyalemen Barat “bersarang” di Indonesia. Dengan adanya sinyalemen tersebut banyak kedutaan besar negara-negara Uni Eropa yang menjadi sekutu Amerika segera mengeluarkan travel warning bagi seluruh warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia.

Terbitnya larangan penerbangan dan travel warning Uni Eropa ini juga tentu saja telah berakibat pada melonjaknya angka pembatalan kunjungan turis ke Indonesia. Selain itu, bisa jadi negara lain seperti Cina, Jepang, Korea juga akan menerapkan ketentuan serupa. Potensi pembatalan kunjungan turis Jepang, Korea serta negara Asia Pasifik lainnya jelas akan berdampak kepada penurunan jumlah wisatawan asing selama beberapa tahun ke depan. Saat ini beberapa operator tur di Jepang telah membatalkan kunjungan turisnya ke Bali dan beberapa daerah tujuan wisata di kawasan timur Indonesia. Hal ini semakin mempersulit posisi Indonesia karena dampak buruk publikasi tentang masuknya maskapai penerbangan Indonesia dalam daftar hitam penerbangan tidak aman di dunia. Bahkan, Uni Eropa bukan hanya mengeluarkan daftar hitam penerbangan tidak aman, tapi juga mengeluarkan imbauan agar wisman dari kawasan tersebut tidak menggunakan penerbangan domestik di Indonesia. Bahkan baru-baru ini Otoritas penerbangan Arab Saudi juga meminta klarifikasi pemerintah Indonesia terkait dengan kondisi penerbangan nasional. Padahal berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Aviation Safety Network (2007) diketahui bahwa maskapai penerbangan Indonesia bukan pemegang rekor kecelakaan transportasi udara Internasional.

Hal ini memang menjadi semacam “batu ujian” bagi seluruh stakeholder pariwisata pada umumnya dan Jawa Tengah pada khususnya. Lihat saja, pengelolaan objek-objek wisata Jawa Tengah, seperti Candi Borobudur memang belum optimal. Banyak hal yang harus dibenahi dan mulai ditangani secara profesional, seperti ulah para pedagang asongan yang cenderung memaksa pengunjung, terkadang membuat wisatawan risih, belum lagi masalah kebersihan yang kurang, sarana transportasi yang belum memadai, kenyamanan, kelengkapan hotel, dan berbagai paket hiburan yang menarik lainnya. Belum lagi jika bicara masalah promosi wisata, Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan dengan negara tetangga Malaysia yang gencar dengan promosinya serta perbaikan sarana dan prasarana lainnya.

Namun, orang juga paham bahwa dalam peta politik bisnis tingkat global, segala “derita” yang dialami dunia pariwisata Indonesia tidak terlepas dari permainan bisnis tingkat tinggi. Sudah bukan rahasia lagi para investor bisnis (pariwisata) sangat “ganas” dalam mengeruk kekayaan dan sumber daya negara lain yang lemah dan baru berkembang. Hal ini setidaknya pernah digambarkan dengan baik oleh Dennison Nash dalam Tourism as a form of imperialism (1989). Nash menegaskan bahwa “…It is this power over touristic and related development abroad that makes metropolitan center imperialistic and tourism as a from imperialism…” (lihat pula Gunawan, 1994). Pertama, hotel-hotel bintang lima di Jakarta, Yogyakarta dan Bali—tempat tujuan wisata bisnis internasional, seperti: Hyatt, Hilton, J.W. Marriot, dan sebagainya—dikuasai oleh asing. Kedua, pembelian atau penyewaan pulau-pulau di beberapa tempat di Indonesia juga dilakukan oleh investor asing dengan menyulapnya sebagai surga dunia, ada hotel, area menyelam, area bermain jet sky, wisata alam, dan sebagainya. Ketiga, berbagai paket kebijakan politik nasional, misalnya perjanjian utang yang dibarengi dengan syarat-syarat penggunaan tenaga kerja asing dan alat-alat asing juga menjadi sebab lain bisnis pariwisata di negeri ini dikendalikan oleh bisnis internasional yang sangat kuat. Keempat, promosi yang dilakukan para investor dan pengusaha kelas internasional juga sangat kuat karena mereka mampu menciptakan dan mempermainkan “citra” sebuah negara atau tempat wisata. Seperti maraknya bom di Bali, Jakarta, dan Borobudur (Jawa Tengah) beberapa tahun yang lalu, dapat dimanfaatkan untuk menurunkan citra tempat-tempat tersebut. Kelima, agen-agen perjalanan internasional dapat menentukan kapan dan di mana akan datang ke Indonesia dengan cara meneriakkan travel warning seperti yang sering dilakukan oleh pemerintah Amerika dan Australia.

Untuk itulah, pemerintah dan seluruh stakeholder pariwisata nasional perlu mengubah strategi dan paradigma pengelolaan bisnis pariwisata. Bahwa tidak melulu wisatawan asing yang dijadikan ujung tombak pemasaran bisnis pariwisata, karena wisatawan domestik pun perlu digarap dengan baik. Padahal bila dilihat dari segi pendapatan, ternyata wisatawan domestik pun memainkan peran yang cukup signifikan. Terbukti pada tanggal 1—8 Juli 2007, dari 113.909 pengunjung Candi Borobudur, wisatawan asing hanya 2.207 orang (1,94 %). Selain itu, pemerintah pusat pun perlu berperan aktif membenahi situasi politik dan melakukan lobi-lobi tingkat tinggi sehingga citra pariwisata negeri ini tidak semakin buruk.

2.2.2. Pariwisata: Konservasi dan Komersialisasi

Dalam upaya pengembangan strategi pengelolaan pariwisata di Indonesia agaknya para stakeholder perlu belajar dari negara tetangga, misalnya saja India, pada lingkup pengelolaan Taj Mahal (Hadi, 2009). Pertama, sejak awal pemerintah India sudah melakukan pencitraan bahwa Taj Mahal adalah Monument to Love dengan sederet cerita tentang keagungan cinta. Bahkan secara eksplisit, buku panduan turis di sana menyebutkan tentang “kewajiban” berkunjung ke Taj Mahal kalau ke India dengan slogan “No visit India is completed without an expedition to this shrine of mystique and love”. (Kunjungan ke India belumlah lengkap tanpa berekspedisi ke tempat suci mistis dan cinta ini).

Kedua, pemerintah India pun benar-benar peduli dan melindungi Taj Mahal agar tidak dibuat replika detil atas bangunan tersebut. Karena membuat replika monumen bersejarah dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Selain itu, upaya pencitraan sebagai negara yang aman juga perlu ditingkatkan.

Ketiga, manajemen pengelolaan pun dibuat sangat profesional dan sejalan dengan prinsip-prinsip konservasi. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pengelolaan bisnis pariwisata malah justru hanya mementingkan aspek komersialnya saja tanpa mengedepankan aspek-aspek konservasi. Terbukti di Taj Mahal, pemberhentian kendaraan pengunjung dilakukan pada 1,5 km sebelum lokasi. Setelah itu, harus berganti bus bertenaga batere yang tidak menimbulkan kebisingan dan polusi udara yang berlebihan. Selain bis, pengunjung juga disediakan pilihan moda transportasi: dokar, becak atau berjalan kaki.

Memasuki kawasan Taj Mahal, pengunjung harus melepas alas kaki atau membungkusnya dengan kantung kain berwarna putih yang disediakan petugas setelah membeli tiket masuk. Hal ini dilakukan dengan maksud agar batuan dan ornamen lantai tidak kotor. Begitu pula, telapak sepatu ribuan atau bahkan ratusan ribu pengunjung dikhawatirkan akan melampaui daya dukung struktur batuan Taj Mahal. Perlu diketahui bahwa arsitek Taj Mahal, yaitu seorang berkebangsaan Iran bernama Ustad Ahmad Lahauri telah merancang bangunan tersebut dengan visi konservasi. Taj Mahal yang berdiri pada keluasan 35 hektare itu dikitari ruang terbuka hijau dan taman yang sangat luas. Dengan kondisi seperti itu, pusat perhatian pengunjung bisa terpencar. Di samping itu, masjid di sebelah timurnya dan replika masjid pada sisi barat juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Demikian juga Sungai Yamuna di sisi selatannya yang memiliki aliran air yang tenang dapat menjadi pusat keterpesonaan pengunjung. Akhirnya, aktivitas pengunjung tidak terpusat pada bangunan utama dalam waktu yang bersamaan. Lebih-lebih lagi, bentuk bangunan Taj Mahal yang simetris, membuat semua sisinya tampak sama ketika dipandang. Jadi, pengunjung dapat memandanginya dari berbagai penjuru secara terpencar.

Selain dikonservasi, keagungan Taj Mahal juga sangat berdaya untuk kepentingan bisnis. Konon para tenaga yang membangun Taj Mahal berasal dari suatu daerah yang disebut Makrana, tempat asal batuan marmer yang ada di situ. Anak keturunan ahli pahat batu itu sekarang berjumlah 17 orang dan tinggal di sekitar Taj Mahal. Merekalah yang diizinkan untuk menggunakan masjid di sisi timur untuk bersembahyang Jumat.

Keahlian memahat orang-orang Makrana itu didayagunakan oleh perusahaan marmer untuk mendongkrak nilai jual produknya. Pengunjung yang datang melalui biro perjalanan pasti dibawa singgah danmelihat kepiawaian pemahat ini mengasah batu menjadi berbagai komoditas seperti meja dan hiasan dinding yang sangat artistik. Harganya mulai dari 300 sampai 1.500 dolar AS. Kalau orang berkantung tebal dan membayangkan bisa memiliki meja marmer dan hiasan dinding mirip pahatan sekaliber Taj Mahal tentu akan tergiur membelinya.

Komersialisasi seperti itu mengingatkan kita pada nasib Candi Borobudur yang tidak kalah agung dengan Taj Mahal. Pada bangunan untuk Ratu Mumtaz itu, komersialisasi tidak sampai mengorbankan nilai bangunan bersejarahnya, tetapi tidak demikian dengan Borobudur. Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai jual agar wisatawan betah lama tinggal di sekitar lokasi itu pernah membuat candi kebanggaan bangsa Indonesia pernah beberapa kali diancam bakal dicabut dari daftar warisan budaya dunia oleh UNESCO.

Beberapa hal yang pernah ditegur UNESCO adalah pembangunan sarana dan prasarana pertunjukan cahaya dan suara atau multimedia show (MMS) dengan teknologi canggih dari Perancis pada sekitar 1997. Pertunjukan malam hari itu berusaha menggambarkan kehidupan masa lalu di sekitar candi. Namun, UNESCO mengkhawatirkan pertunjukan itu akan mempercepat pelapukan batuan candi. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh suara MMS akan mengganggu struktur batuan candi.

Begitu pula pada 2002 dan 2003, Borobudur kembali heboh dengan rencana pemerintah yang menata pedagang asongan dengan konsep Jagad Jawa atau shopping street di zona 2. Padahal area itu merupakan zona penyangga dan hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan yang menunjang pelestarian candi saja. Dengan demikian, kegiatan komersial seperti hotel dan kereta mini bermesin seharusnya memang tidak berada di zona penyangga itu (Hadi, 2009).

3. PENUTUP

Sikap pemerintah yang lebih berorientasi pada komersialisasi ini sebenarnya dilatari paradigma model ideologisasi pembangunan-isme yang muaranya justru mendorong pada terjadinya proses systematic disempowermen melalui kekuatan dan kekerasan. Proses sistematik mengakibatkan hampir-hampir tidak diketemukannya lagi wilayah publik (public space) yang bersih dan steril dari intervensi kekuasaan. Seluruh pranata kehidupan dan aktivitas sosial, budaya dan keagamaan masyarakat tereduksi, terstrukturasi, tersistematisasi habis-habisan untuk mengabdi pada kepentingan pembangunan, yang nota bene dapat sekaligus menjadi jalan “mesias baru” (baca: ideologisasi masyarakat untuk dapat keluar dari belitan kemiskinan, penderitaan dan seluruh problem solving masyarakat lainnya, menuju ke alam kegemilangan, yang dalam bahasa orde baru disebut dengan istilah “menuju tinggal landas” akan tetapi justru menyeret kehidupan bangsa ini dalam arus krisis multidimensional yang berkepanjangan.

Untuk itulah, para stakeholder pariwisata Indonesia perlu belajar dari negara tetangga dalam upaya pengembangan strategi pengelolaan pariwisata yang berorientasi pada konservasi. Dengan komitmen yang kuat bahwa komersialisasi yang masih mungkin untuk dapat diaplikasikan harus tidak mengorbankan nilai-nilai estetika dan filosofis bangunan bersejarahnya. Karena bila prasyarat itu dilanggar, maka konsekuensinya tidak hanya pemerintah bahkan seluruh lapisan masyarakat akan menerima sanksi dari UNESCO berupa dikeluarkannya Candi Borobudur dari daftar warisan budaya dunia. Melainkan juga masyarakat dan bangsa Indonesia selalu berada dalam kondisi systematic disempowermen yang berkepanjangan. Untuk itulah, diperlukan kreativitas dan kearifan dalam upaya pengembangan pariwisata yang selalu berwawasan pada aspek-aspek konservatif. Dengan demikian, keberadaan Candi Borobudur akan terus menjadi warisan budaya dunia yang terjaga dan dapat dinikmati oleh seluruh warga dunia.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.

Andri. 2007 “Borobudur Warisan Dunia yang Tak Tergoyahkan” dalam Litbang Kompas/IWN, disarikan dari UNESCO. Kompas. Jakarta: 11 Juli 2007

Gunawan, Jamil. 2003. ‘’Quo Vadis Masyarakat Adat’’ dalam Majalah Flamma, Edisi 15 Volume 8/Januari 2003, ISSN 1412-6362. Hal. 6—7

Hadi, Sudharto. P. 2009. “Taj Mahal: Konservasi dan Komersialisasi” dalam Suara Merdeka. Semarang: 4 Januari 2009.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1 – 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Santiko, Hariani. 2007. “Siapa Pendiri Candi-candi Itu?” dalam Kompas. Jakarta: 15 Juni 2007.

Siagian, Renville. 2002. Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kencana.

Soekadijo, R.G. 2000. Anatomi Pariwisata : Memahami Pariwisata sebagai ”Systemic Linkage”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sukatno C.R., Otto 2004. Dieng Poros Dunia: Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang. Yogyakarta: IRCiSoD.

Tim. 2000. Panduan Wisata Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.

___. 2007. Kunjungan Wisatawan ke Candi Borobudur Menyusut. Semarang.

Wahyu. 2007. “Festival Borobudur Disiapkan: Mega Jateng Fair 2007 dan Festival Cheng Ho Jadi Wahana Promosi” dalam Kompas. Jakarta: 11 Juli 2007.

Wilonoyudho, Saratri. 2007. “Borobudur: Politik Bisnis Pariwisata” dalam Kompas. Jakarta: 11 Juli 2007.

Wirajaya, Asep Yudha. 2006. ”Penggalian Potensi Folklor sebagai Aset Pengembangan Pariwisata Budaya di Daerah Lawu” dalam Jurnal Penelitian Budaya Etnik Etnografi. No. 6. Th. VII Juni 2006. ISSN 1411-7258. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa – Universitas Sebelas Maret Surakarta

__________________. 2009. ”Kebijakan Pengembangan Kawasan Dieng Sebagai Ikon Pariwisata Budaya Jawa Tengah” dalam Jurnal Policy. Volume 1 Januari – Juni 2009. ISSN 1979-0546. Surakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Publik dan Kelembagaan – Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat – Universitas Sebelas Maret Surakarta.


* Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia – Fakultas Sastra dan Seni Rupa – Universitas Sebelas Maret – Surakarta

E-mail: asepyuda@uns.ac.id atau asepyuda@yahoo.com