AUSTRONESIA dan KEBUDAYAAN SUNDA KUNO

Kebudayaan senantiasa berubah, mengalami dinamikanya sendiri, kebudayaan juga dapatdi umpamakan seperti organisme, ada masa kelahiran, perkembangan, menyusut, dan punah. Dapat juga kebudayaan itu setelah kelahirannya lalu berkembang terus hingga sekarang, tetapi suatu waktu nanti niscaya akan digantikan dengan bentuk-bentuk baru, suatu bentuk yang menyesuaikan keadaan zamannya. 

Di wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan dalam masa prasejarah pernah berkembang suatu kebudayaan yang didukung secara luas oleh penduduk yang mendiami kawasan tersebut hingga Madagaskar, dan kepulauan di Pasifik Selatan, para ahli menamakan kebudayan tersebut dengan Austronesia. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia kemungkinan terjadi dalam kurun waktu 6000 SM hingga awal tarikh Masehi.

Akibat mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah, orang-orang pengembang kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian berangsur-angsur mereka menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara daratan sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam pengalaman kehidupan mereka.Pada sekitar tahun 3000-2500 BC, orang-orang Austronesia mulai berlayar dari pedalamanCina selatan daerah Yunnan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina.

Diaspora Austronesia berlangsung terus hingga tahun 2500 SM mereka mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam sekitar tahun 2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau bagian baratIndonesia.

Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga sekitar tahun 500 SM hinggaawal dihitungnya tarikh Masehi .Pendapat tersebut dikemukakan oleh H.Kern seorang ahli linguistik dan didukung oleh W.Schmidt (antropolog), P.V.van Stein Callenfels, Robert von Heine Geldern, H.O.Beyer dan R.Duff (arkeolog). Memang hingga sekarang ini pendapat yang menyatakan bahwa tanah asal orang Austronesia adalah daratan Asia Tenggara dan Cina selatan (Yunnan) masih banyak pendukungnya,walaupun akhir-akhir ini juga mengemuka pendapat baru yang dicetuskan oleh para pakar lainnya.Pendapat lain pernah digagas oleh I. Dyen (1965) seorang ahli linguistik, berdasarkan metode lexico-statistik.

Ia kemudian menyimpulkan bahwa orang penutur bahasa Austronesia berasal dari Melanesia dan pulau-pulau di sekitarnya. Dalam masa prasejarah mereka menyebar ke barat ke arahkepulauan Indonesia dan daratan Asia Tenggara, dan juga ke Pasifik selatan. Menurutnya berdasarkan prosentase kekerabatan bahasa Austronesia dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:I. Bahasa Irian Timur dan MelanesiaII.Bahasa Melayu-Polinesia terdiri dari:a.Hesperonesia (Bahasa-bahasa Indonesia Barat) b.Maluku (Maluku, Sumba, Flores, Timor)c.Heonesia (bahasa Polinesia dan Mikronesia)(Keraf 1991: 9—10)

Pendapat yang kini populer adalah tentang “Out of Taiwan” yang menyatakan tempat asalorang-orang Austronesia adalah Taiwan. Pendapat ini semula dikemukakan oleh Robert Blust berdasarkan kajian terhadap bahasa-bahasa dalam rumpun Austronesia. Ia juga mengadakan kajian terhadap proto-bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora, fauna, dan gejala alam lainnya. Maka kesimpulannya adalah tempat asal penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan (Blust, 1984-85, 1995).

Pendapat Blust tersebut kemudian mendapat dukungan dari penelitian arkeologi Peter Bellwood,walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam hal kronologi munculnya bahasa Austronesia, namunkeduanya mempunyai pendapat yang sama tentang tahapan migrasi Austronesia, sebagai berikut:1.Migrasi petani prasejarah dari Cina ke Taiwan (5000—4000 SM), mereka belum berbahasaAustronesia. Setelah lama menetap barulah mengembangkan bahasa Austronesia.2.Migrasi dari Taiwan ke Filipina (sekitar 4000—3000 SM), mereka mengembangkan bahasayang disebut Proto-Malayo-Polinesia.

Migrasi dari Filipina ke arah selatan dan tenggara (3500 SM—sebelum 2000 SM), menuju keKalimantan, Sulawesi, dan Maluku utara.

Migrasi dari Maluku ke arah selatan dan timur (3000 SM atau 2000 SM), mencapai NusaTenggara dan pantai Utara Papua Barat. Dalam pada itu orang Austronesia yang telahmenghuni Kalimantan sebagian bermigrasi ke arah Jawa dan Sumatera.

Migrasi dari Papua ke barat (2500 SM) dan Timur (2000 SM atau 1500 SM) menuju Oseania.Austronesia dari Jawa dan Sumatera kemudian ada yang bermigrasi ke SemenanjungMalaysia dan Vietnam pada sekitar 500 SM, pada periode yang hampir sama sebagian orangAustronesia dari Kalimantan ada pula yang berlayar hingga sejauh Madagaskar (Tanudirdjo& Bagyo Prasetyo 2004: 82—84).

Satu teori migrasi Austronesia lainnya yang juga mendapat perhatian dari para sarjana adalahyang menyatakan bahwa orang Austronesia tersebut berasal dari kepulauan Asia Tenggara, lalumenyebar ke berbagai arah. Adalah John Crawfurd yang pertama kali mempunyai gagasan seperti itu,dalam tulisannya yang berjudul On the Malayan and Polynesian Languages and Races (1884), walaupun tanpa bukti yang cukup namun ia telah berkeyakinan bahwa orang Indonesia tidak berasaldari mana-mana, tetapi merupakan induk yang menyebar ke mana-mana.

Maka pendapat inikemudian memperoleh dukungan dari Gorys Keraf (1991) yang menyatakan berdasarkan teori migrasi bahasa, keadaan geologi zaman purba, dan penyebaran homo sapiens-sapiens yang sudah menghunikepulauan Indonesia dan Filipina, ketika masih bersatu dengan daratan Asia sekitar 15.000 tahunyang lalu. Gorys Keraf menyatakan:“Ketika es-es dalam zaman Pleistosen mulai mencair sehingga air laut perlahan-lahan menggenangilembah-lembah dan dataran, kelompok-kelompok homo sapiens-sapiens yang tersebar luas itu perlahan-lahan mundur ke tempat-tempat yang lebih tinggi, yang lambat laun membentuk pulau-pulausekarang ini.

”Terdapat kelompok-kelompok bahasa-bahasa Austronesia di daratan Asia karena proses yangsama. Ketika daerah lembah dan dataran rendah yang sekarang menjadi Laut Cina Selatan, SelatMalaka, dan Selat Karimata, maka penutur bahasa-bahasa yang berkerabat itu mundur perlahan-lahanke tempat yang belum digenangi yang sekarang menjadi daerah Asia Tenggara dan Timur.

Bahwakemudian terjadi migrasi lokal tau interinsuler sesudah terbentuknya pulau-pulau denganmenggunakan alat-alat transportasi sederhana seperti rakit atau dalam bentuk yang lebih maju berupa perahu-perahu kecil yang disebut wangkang, benaw, berok dan sebagainya, hal itu tidak dapatdisangkal. Karena itu, dengan mempertimbangkan keadaan geografi dunia, khususnya Asia dankepulauan di sekitarnya, pada zaman Pleistosen dan awal periode Holosen, serta perkembangan- perkembangan primat khususnya dari hominoidae ke hominidae, dari Australopithecus hingga homo sapiens sapiens, dan mempertimbangkan lagi dalil-dalil migrasi bahasa, maka negeri asal bangsa dan bahasa-bahasa Austronesia haruslah di wilayah Indonesia dan Filipina, termasuk laut dan selat diantaranya” (Keraf 1991: 18—19).

Pendapat Gorys Keraf tersebut memang belum banyak diperhatikan oleh para ahli, akan tetapiapa yang dikemukakannya dapat diterima secara ilmiah dan empirik. Sebab selama ini para pakar selalu fokus pada data bahasa, kebudayaan material (artefak), dan ciri ras manusianya saja, apabilamereka memperbincangkan diaspora Austronesia. Padahal orang Austronesia itu sudah tentu hidup diruang geografi dan lingkungan alam yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.

Dengan demikianapabila lingkungan alam tempat mereka hidup juga berubah, maka akan terjadi perpindahan (migrasi)mencari lokasi di ruang geografi yang lebih aman. Teori Gorys Keraf sejatinya hendak menyatakan bahwa diaspora Austronesia itu telah terjadi jauh dalam zaman prasejarah di akhir zaman es, sekitar 11.000 tahun SM, ketika paparan Sunda di bagian barat Indonesia yang menyatu dengan daratan AsiaTenggara tenggelam karena air laut naik akibat mencairnya es.

Itulah awal tercerai-berainyamasyarakat Austronesia dalam berbagai pulau dan lokasi di kawasan Asia Tenggara. Di masakemudian setelah paparan Sunda tenggelam, bisa saja terjadi migrasi orang-orang Austronesia yangdilakukan antarpulau dan antardaerah, itulah yang mulai dilakukan pada sekitar 5000 SM sehingga500 M.

Ketika migrasi telah jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia telah menetap dengan ajeg di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah kesempatan untuk lebih mengembangkankebudayaan secara lebih baik lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antaraabad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang didasarkan kepada kepandaianseni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan Dong-son.

Penamaan itu diberikan atas dasar kekayaansitus Dong-son dalam beragam artefaknya, semuanya artefak perunggu yang ditemukan dalam jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son sebenarnya nama situs yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam bagian utara).

Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikanornamen Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur.

Bermacam artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya nekaradalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak upacara), pedang pendek, pisau pemotong, bejana, boneka, dan kampak sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son adalahkaya dengan ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupiornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dong-son (senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi (Wagner 1995: 25—26).

Kemahiran seni tuang perunggu dan penambahan bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh seniman sezaman diwilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat bangsa-bangsa Asia Tenggara. Tidak hanya kepandaian dalam seni tuang perunggu saja yang telah dimiliki oleh orang-orangAustronesia, seorang ahli sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yangmendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa proto-sejarah.

Brandesmenyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan ataupun kepulauan telah memiliki 10kepandaian yang meluas di awal tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:01.Telah dapat membuat figur boneka02.Mengembangkan seni hias ornamen03.Mengenal pengecoran logam04.Melaksanakan perdagangan barter 05.Mengenal instrumen musik 06.Memahami astronomi07.Menguasai teknik navigasi dan pelayaran08.Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan09.Menguasai teknik irigasi10.Telah mengenal tata masyarakat yang teratur

Dalam kehidupan masyarakat Kanekes, 10 kepandaian yang dimiliki oleh orang-orang Austronesia dalam zaman proto-sejarah tetap dipertahankan hingga sekarang. Mungkin kepandaian navigasi kurang dikembangkan lagi setelah mereka bermukim lama di daerah pedalaman, akan tetapi pengetahuan tentang seluk beluk sungai, anak sungai, arus sungai, lubuk di sungai, dan mencaridangkal atau dalamnya sungai untuk diseberangi dikenal oleh orang Kanekes secara baik. Dalam padaitu tentang penataan masyarakat yang teratur jelas tergambarkan dalam masayarakat, dengan adanyaTelu Tantu yang meliputi puun dari ketiga permukiman mereka. Puun Cikeusik adalah Puun rama, Puun
Cikartawana adalah Puun resi, dan Puun Cibeo adalah Puun Ponggawa (Danasasmita & AnisDjatisunda 1986: 12). Itulah penataan masyarakat asli Kanekes, bahwa mereka mengenal 3 pemimpindalam masyarakatnya, yaitu

1. Rama adalah istilah asli Jawa/Sunda Kuno yang bukan dari Sansekerta artinya pemimpinwilayah tertentu, pemimpin yang langsung berurusan dengan masyarakat.

2. Resi adalah istilah dari bahasa Sansekerta rsi, yang artinya orang-orang suci karena tekun bertapa mendekatkan diri kepada dewa-dewa. Dalam masyarakat Kanekes
Resi dapat berartiorang yang dituakan karena pengetahuan spiritualnya yang tinggi.

3. Ponggawa dari kata Sansekerta punggawa arti sebenarnya pemimpin atau ketua, kerapkaliistilah ponggawa mengacu kepada pemimpin kemiliteran, komandan militer atau pengawalkeamanan.

Akan halnya pembagian 3 pimpinan dalam masyarakat menjadi pemimpin wilayah, pemimpins piritual, dan pemimpin bidang keamanan tidak pernah dijumpai dalam kebudayaan Jawa Kunomanapun, sejak Mataram kuno hingga Majapahit, juga tidak pernah dijumpai di lingkungan kebudayaan Hindu-Bali.

Apabila ditelusuri hingga kebudayaan India, maka pembagian 3 pimpinanmasyarakat tersebut tiada pernah dijumpai juga.

Maka dapat ditafsirkan bahwa aslinya pembagian 3 pimpinan tersebut adalah temuan masyarakat Sunda masa proto-sejarah, kemudian ketika anasir budaya India datang, istilah-istilah dalam penyebutannya diganti dengan kata Sansekerta, kecuali kata rama yang tetap bertahan.

Ketika Kerajaan Sunda berkembang pembagian 3 pimpinan dalam masyarakat tetap dikenalsebagaimana yang diuraikan dalam Kropak 632 (Amanat Galunggung) yang berbunyi:

“Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (“dunia bimbingan berada di tangan sang rama, dunia kesejahteraan berada di tangan sang resi, dunia pemerintahan berada di tangan sang raja) (Danasasmita & Anis Djatisunda 1986: 13).

Hal itu jelas merupakan pengembangan cakupan tugas dari para pimpinan masyarakat Sunda Kuno ketika pengaruh India telah masuk. Sampai sekarang masyarakat Kanekes mengenal pembagian binary, ada urang Tantu (Baduy jero)
dan ada urang Panamping (Baduy luar), ada warna putih untuk urang Tantu dan ada warna hitam/biru tua untuk
urang Panamping, ada huma puun ada pula huma serang
dan seterusnya.

Jikamasyarakat Austronesia mengenal kebudayaan perunggu Dong-son dengan menghargai benda-benda perunggu, seperti nekara, moko, kapak dan bejana perunggu, masyarakat Kanekes juga menghargai benda peralatan rumah tangga yang terbuat dari tembaga, misalnya dandang
(seeng), teko, danlainnya. Konon dalam masyarakat Kanekes orang yang berada dan berhasil dalam panenan padinya,dapat diketahui dari jumlah dandang yang dimilikinya.

Dandang dapat dijadikan tolok ukur sepintas perihal “kekayaan” seorang waraga Kanekes.

Bahkan di beberapa tempat di Tatar Sunda masih adatradisi seni “Parebut Seeng” yang sebenarnya sarat dengan makna.
Seeng dapat diartikan sebagai benda yang dihormati dengan berbagai caranya oleh karena itu harus diperebutkan, seeng adalah benda untuk memasak nasi, bahan makanan utama maka patut dimuliakan, seeng juga merupakansimbol berkat dari para karuhun karena dalam pembuatannya diperlukan kemahiran khusus dari para pande.Berdasarkan data yang masih ditemukan dalam masyarakat Kanekes, maka dapat ditafsirkan bahwa orang Kanekes yang sangat mempertahankan adat/tradisi leluhur adalah keturunan dari masyarakat Sunda Kuno pra-Tarumanagara ketika mereka masih mengembangkan kebudayaan.

Austronesianya. Secara hipotetis dapat dikemukakan bahwa sebelum pengaruh kebudayaan Indiadatang ke Jawa bagian barat, masyarakat masa itu tentunya mengembangkan kebudayaan Austronesiayang dikenal meluas di wilayah Asia Tenggara.

Sekitar abad ke-3—4 diterimalah anasir budaya Indiaoleh masyarakat Sunda Kuno Awal tersebut, lalu sebagiannya ada yang beralih untuk menerimaagama dari budaya India. Sejatinya agama yang dikembangkan oleh Purnnawarmman di KerajaanTarumanagara adalah Weda-brahmana, bukanlah agama Hindu.; Hindu-saiwa baru berkembangdalam masa Mataram sesuai dengan berita Prasasti Canggal (732 M) yang dikeluarkan oleh Sanjaya.

Selanjutnya ecara berangsur-angsur masyarakat mulai mengenal kebudayaan India, setelahTarumanagara runtuh, kemudian disusul dengan tumbuh kembangnya Kerajaan Sunda dan Galuh.Walaupun masa itu telah banyak anasir kebudayaan India yang diterima oleh masyarakat, akan tetapidapat diketahui bahwa masyarakat Sunda Kuno zaman Sunda, Galuh, dan Pakwan-Pajajaran tidak sepenuhnya menerima agama Hindu-Buddha.

Banyak kajian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa agama Hindu-Buddha dalam masyarakat Sunda zaman Galuh dan Pakwan Pajajaran hanyalah penutup bagian luar saja, akan tetapi inti di dalamnya masih melanjutkan tradisi pemujaan leluhur yang diseru dengan Hyang.

Dalam pada itu terdapat masyarakat yang tinggal di pedalaman Jawa bagian barat, di lokasiyang jauh di pelosok pegunungan, di balik bukit-bukit yang jarang dikunjungi orang luar, yang tetapmempertahankan tradisi kebudayaan Austronesianya. Merekalah leluhur masyarakat Kanekes.

Makasebenarnya masyarakat Kanekes dewasa ini adalah keturunan dari orang Kanekes kuno yang telah adadi lokasi tersebut sebelum Kerajaan Tarumanagara berdiri.

Ketika kerajaan demi kerajaan silih berganti berkembang dan runtuh, mereka tetap mempertahankan adat tradisi leluhurnya hinggasekarang.

Ketika penduduk lainnya di Tatar Sunda menerima pengaruh budaya India baik dalam masaTarumanagara ataupun kemudian dalam era Kerajaan Sunda, orang Kanekes hanya menerima sedikitsaja pengaruh tersebut.

Begitupun ketika agama Islam mulai berkembang hingga sekarang, pengaruh itu pun diterima sedikit pula. Mereka tetap mempertahankan sebagian besar tradisi dari
karuhun nyayang sejatinya adalah warisan dari kebudayaan Austronesia purba.

Permasalahan yang menarik adalah apabila keberadaan orang Kanekes dihubungkan dengan pandangan dari Gorys Keraf, bahwa bangsa Austronesia purba tersebut menyebar ke berbagai arah dari tempat kelahirannya di kepulauan Nusantara ketika masih menyatu dengan daratan AsiaTenggara.

Tempat asal yang asli dari orang Austronesia tersebut tenggelam bersamaan dengan berakhirnya zaman es, hal inilah yang akhir-akhir ini dirujukan dengan peristiwa tenggelamnyaAtlantis. Pada akhirnya muncul pertanyaan yang menunggu jawabnya lebih lanjut melalui penelitian- penelitian mendalam di masa mendatang, jika demikian kebudayaan orang Kanekes tersebut sejatinyamewarisi kebudayaan purba Austronesia yang telah tenggelam itu? (ed.ays)

R U J U K A N

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, 2005.
Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai PelestarianPeninggalan Purbakala Serang, Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung.

Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art.
Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.

Blust, R., 1984—85. “The Austronesian Homeland: a linguistic perspective”, Asian Perspective. 26. 1:45—68.

Danasasmita, Saleh & Anis Djatisunda, 1986.Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian danPengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”, dalam
Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Sunda Lana 1.
Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman 173—208

Fischer, G.Th., 1980. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia. Seri Pustaka Sarjana. Terjemahan Anas Makruf.Jakarta: PT.Pembangunan.

Hall, D.G.E., 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh I.P.Soewarsha. Surabaya:Usaha Nasional.

Keraf, Gorys, 1991. Penetapan Negeri Asal Bahasa-bahasa Austronesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan Jabatan GuruBesar Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta. Rabu, 8 Mei.

Munandar, Agus Aris (Penyunting), 2007 Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat: Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Propinsi Jawa Barat.

Rosidi, Ajip (Pemimpin Redaksi), 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

Tanudirdjo, Daud A. & Bagyo Prasetyo, 2004. “Model “Out of Taiwan dalam Perspektif Arkeologi Indonesia”, dalam
Polemik tentang Masyarakat Austronesia: Fakta atau Fiksi?
Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan VIII, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.Halaman 77—101.

Wagner, Frizt A., 1995, Indonesia: Kesenian Suatu Daerah Kepulauan. Tranlated by Hildawati Sidharta. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Widyastuti, Endang, 2003. “Penelitian Arca-arca di Kuningan dalam Rangka Pengungkapan Perkembangan Religi”, dalamAgus Aris Munandar (Penyunting),
Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi (IAAI). Halaman 71–84

Penulis Agus Aris Munandar (Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia)

.

.

.

[sumber: http://www.facebook.com/atl.lisan]