KONSEP KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM SYAIR NASIHAT

Asep Yudha Wirajaya

Sastra Indonesia – Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret – Surakarta

asepyuda@yahoo.com

ABSTRAK

Syair Nasihat merupakan salah satu teks sastra Melayu yang bersifat didaktis instruktif, yaitu mengandung pengajaran dan bimbingan moral. Salah satu bentuk pengajaran dan keteladanan hidup yang tertuang dalam teks SN adalah kearifan lingkungan yang mengacu pada Alquran dan hadis. Manusia adalah bagian kecil dari “sistem kehidupan” yang keberadaannya sangat bergantung pada wujud kehidupan lain. Pangkal wujud kehidupan pertama adalah Tuhan. Oleh karena itu, hubungan manusia (sebagai individu) dengan Allah swt., manusia lain (sosial), dan alam semesta merupakan hubungan segitiga yang harmonis. Artinya, hubungan “segitiga” harmonis tersebut dapat membangun tatanan dunia ideal yang sesuai dengan fitrah-Nya. Hubungan tersebut dimungkinkan terjadi apabila kualitas manusia pembangunnya sesuai dengan kriteria khalifatu’l-Lāh fi’l ardl. Kriteria tersebut akan terwujud apabila kualitas salat manusia mampu membentuk min asar as-sujūd atau bekas sujud. Bekas sujud inilah yang kemudian dapat memberikan nuansa pengalaman spiritual dan memperteguh keimanan, serta membentuk kesalehan sosial. Salah satu bentuknya adalah kepedulian terhadap lingkungan.

 

Kata kunci: syair nasihat, sastra Melayu, dan kearifan lingkungan.

1.    Pengantar

Syair Nasihat (selanjutnya disingkat SN), berdasarkan pengklasifikasian jenisnya (bdk. Sutaarga, 1972; Hussein, 1974; Braginsky, 1998: 236; Jusuf, dkk, 1978: 7; Fang, 1982: 293)  dapat dikategorikan sebagai salah satu karya sastra Melayu yang bersifat didaktis instruktif, yaitu teks yang mengandung pengajaran dan bimbingan moral. Salah satu bentuk pengajaran dan keteladanan hidup yang tertuang dalam teks SN adalah kearifan lingkungan yang mengacu pada Alquran dan hadis. Teks ini ditulis dengan tujuan agar dapat memberi pelajaran kepada anak-cucu tentang peri kehidupan yang baik dan benar sehingga sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama.

Manusia adalah bagian kecil dari “sistem kehidupan” yang keberadaannya sangat bergantung pada wujud kehidupan lain. Pangkal wujud kehidupan pertama adalah Tuhan. Oleh karena itu, hubungan manusia (sebagai individu) dengan Allah swt., manusia lain (sosial), dan alam semesta merupakan hubungan segitiga yang harmonis. Artinya, hubungan “segitiga” harmonis tersebut dapat membangun tatanan dunia ideal yang sesuai dengan fitrah-Nya. Hubungan tersebut dimungkinkan terjadi apabila kualitas manusia pembangunnya sesuai dengan kriteria khalifatu’l-Lah fi’l ardl. Kriteria tersebut terwujud apabila kualitas salat manusia mampu membentuk min asar as-sujūd atau bekas sujud. Bekas sujud inilah yang kemudian dapat memberikan nuansa pengalaman spiritual dan memperteguh keimanan, serta membentuk kesalehan sosial dalam bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Dengan demikian, konsep tanda bekas sujud (min asar as-sujūd) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Fath [48]: 29 dapat dipahami tidak hanya membekas hitam dan tampak di dahi, akan tetapi lebih dari itu, yakni dampak kepatuhan kepada Tuhan melahirkan ide, aksi, kreasi, dan perilaku (akhlak) yang mempunyai nilai kontribusi positif terhadap masyarakat dan alam semesta.

Oleh karena itu, semakin jelaslah bahwa kehadiran para ulama atau cendikiawan Islam di Nusantara tidak hanya mengajarkan kitab suci Alquran, hadis, dan kitab risalah, tetapi juga memanfaatkan kesusastraan. Tentu saja, fenomena semacam ini memberikan nuansa baru dalam kehidupan sastra Indonesia karena para pendengar atau pembaca tidak hanya tertarik dengan keindahan karya sastra, tetapi juga tertarik dengan ajaran Islam dan bahkan dapat memperteguh keimanan mereka.

.

.

.

……………. [ … selanjutnya dapat diunduh di sini … ] ……………