Apresiasi: Bagian dari Pembelajaran Sastra

Pembelajaran

Pembelajaran

Para pendengar, khususnya adik-adik pelajar yang berbahagia.

.

Selamat berjumpa kembali dalam acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia melalui RRI Surakarta. Pada kesempatan Kali Ini saya akan menyampaikan Topik: Apresiasi: Bagian dari Pembelajaran Sastra.

.

Para pendengar, khususnya adik-adik pelajar yang berbahagia

Pemahaman kita terhadap sastra terkadang masih saja terkungkung dengan berbagai hapalan teori yang pernah dipelajari. Padahal di satu sisi, sastra itu sendiri selalu berada pada suatu siklus: kreasi—rekreasi—re-kreasi. Sementara di sisi lain, para sastrawan yang melahirkan berbagai cipta sastra itu juga tidak menginginkan kemerdekaannya dalam berkreasi terbelenggu oleh konvensi-konvensi yang telah ada. Kemerdekaan dalam berkreasi adalah segala-galanya bagi seorang sastrawan dan atau apresiator. Tanpa kemerdekaan, maka tidak ada lagi bentuk-bentuk re-kreasi yang baru dan menyegarkan, khususnya dalam bidang sastra.

Dalam konteks ini, sebaiknya proses pembelajaran sastra, hendaknya dapat menerapkan tiga konsep sebagai ujung tombak yang akan maju bersama-sama. Trisula konsep pembelajaran sastra tersebut adalah (1) apresiasi, (2) rekreasi, dan (3) re-kreasi Bani Sudardi (2003: 2—5).

Tentunya, penerapan trisula konsep pembelajaran sastra itu akan disertai dengan munculnya berbagai keluhan klise. Seperti, darimana buku-buku prosa/puisi atau naskah drama itu diperoleh? Buku-buku sastra seperti itu jarang dijumpai atau bahkan tidak ada. Ya, memang harus dicari dan harus diburu. Sudah selayaknya bahan apresiasi sastra tidak harus terpancang pada bahan cetakan saja. Terkadang bahan-bahan non-cetakan, seperti bahan stensilan, dan guntingan dari media massa seperti koran/majalah, bahkan bahan print-out dari milis/situs internet pun dapat kita manfaatkan. Belum lagi, sumber-sumber bahan yang tidak pernah kering seperti lembaga atau organisasi baik formal maupun informal yang cukup peduli dan punya komitmen terhadap dunia sastra yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Dewan Kesenian, Lembaga Pendidikan Seni Sastra, Kelompok Kerja Teater, Forum Lingkar Pena (FLP), Forum Meja Bolong, Bumi Manusia, dan lain sebagainya. Masihkah kurang cukup bahan? Kalau dirasa masih kurang, sadurlah atau terjemahkanlah karya-karya asing yang juga memenuhi perpustakaan-perpustakaan kita atau yang bertebaran di situs-situs internet. Masih kurang lagi? Buatlah karya sastra sendiri (Ini sekaligus kegiatan re-kreasi). Yang penting adalah mutunya.

.

Para pendengar, khususnya adik-adik pelajar yang berbahagia.

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar istilah apresiasi sastra. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan berapresiasi sastra? Apa yang harus dikerjakan? Tentu saja tidak sekedar mendaftar judul-judul puisi/drama beserta pengarangnya tanpa tahu warna dan bentuk bukunya apalagi isinya. Atau sekedar mengidentifikasikan tokoh, latar, alur serta mengungkap tema dan amanat yang terkandung di dalam prosa. Bukankah mengapresiasi karya sastra harus dilakukan dengan mengakrabi, dengan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh? (Ardiana dalam Aminuddin, 1990: 223).

Secara sederhana apresiasi bermakna memahami. Proses pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, tentu saja diperoleh setelah melalui tahapan yang disebut pembacaan sastra. Melalui tahapan ini, kita akan ‘dibawa’ untuk memahami nilai-nilai yang ada di dalam karya sastra tersebut. Nilai-nilai karya sastra itu beragam dan banyak makna. Namun, untuk dapat mencapai atau meraih makna terkadang diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Pembaca perlu menggali berbagai alternatif kemungkinan makna baru dalam membaca sastra. Dengan demikian, pembaca akan dapat menikmati dan menghargai karya sastra itu sendiri.

Apakah kegiatan apresiasi itu hanya sekedar membaca? Memang, itulah awalnya. Bahkan memburu buku prosa/puisi atau naskah drama itu saja sudah merupakan bagian awal dari kegiatan apresiasi. Yang penting, jangan terlalu banyak berteori. Akrabi saja karya sastra itu dengan cara membacanya, membacanya, dan membacanya. Semakin sering Anda membaca semakin mudah untuk memahami berbagai macam karya sastra karena kepekaan pikiran dan perasaan telah berkembang dengan sendirinya.

Sebagai contoh pemaknaan baru dua buah novel karya Ahmad Tohari, yaitu Bekisar Merah dan Belantik. Saya memilih novel Tohari dengan alasan sebagai berikut. Pertama, tidak bisa disangsikan lagi bahwa karya-karya Tohari merupakan karya yang cukup kuat menampilkan warna lokal, dalam hal ini kebudayaan Jawa. Kedua, Tohari adalah salah seorang pengarang yang “istiqomah” tetap tinggal di tanah kelahirannya. Dari sini diharapkan bisa ditemukan bagaimana sikapnya terhadap fenomena global. Perlu juga dijelaskan bahwa meskipun ulasannya selintas, saya memilih dua novel sekaligus, hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kedua novel ini memang berseri. Pada judul kecilnya ditulis bahwa Belantik adalah Bekisar Merah 2. Dengan demikian, ulasan selintas atas keduanya merupakan sebuah kesatuan. Saya mulai dengan Bekisar Merah.

Sepertiga pertama kisah dalam Bekisar Merah (hal. 1-70) melukiskan kehidupan masyarakat di sebuah desa bernama Karang Soga. Keseharian kehidupan warga masyarakat ini nyaris tidak ada tantangan. Para lelaki umumnya hidup dalam rutinitas sebagai penyadap kelapa, sedangkan para perempuan menyalakan tungku untuk menjerang lahang-membuat gula sebelum kemudian menjualnya di desa itu juga—kepada seorang juragan bernama Pak Tir. Tidak ada persoalan yang ruwet karena mereka memang tidak pernah berpikir macam-macam. Jika suatu saat ada seorang penyadap terjatuh dari pohon kelapa, itu bukanlah masalah yang harus dianggap serius. Mereka cukup menyelesaikannya dengan mengucapkan kalimat jampi “ada kodok lompat”. Jika sang kodok mati, itu adalah takdir yang sudah semestinya diterima. Inilah cermin sebuah tradisi yang masih perawan, dan mereka menikmati keperawanannya.

.

Tohari kemudian membuka horison pembaca agar mempertentangkan realitas lokal tersebut dengan realitas lain yang sebaliknya. Pintu desa Karang Soga didobrak melalui konflik dalam keluarga Lasi. Darsa, suami Lasi, seorang penyadap yang harus mengalami takdir sebagai “kodok lompat” menghamili Sipah, anak pincang anak mbok Bunek, seorang dukun yang mampu menyembuhkan Darsa dari penyakit lemah syahwat. Lasi limbung. Namun Tohari tidak menutup riwayat Lasi dengan menggantung diri, misalnya. Lasi justru dikirim ke sebuah wilayah lain yang bisa dibilang pertentangan dari Karang Soga: Jakarta. Maka terciptalah oposisi biner Karang Soga Versus Jakarta, lokal Versus pusat.

Adalah truk tua pengangkut gula yang membawa Lasi ke Jakarta. Ini saya pikir sebuah penanda bagaimana rapuhnya jembatan yang menghubungkan pusat dengan daerah. Sementara itu, gula—saripati kelapa yang berasa manis—menjadi semacam upeti yang ditarik ke pusat melalui mekanisme pemaksaan yang terselubung. Jika tidak dikirim ke Jakarta, di Karang Soga gula bisa jadi tidak berarti. Para penyadap termasuk Pak Tir, sang tengkulak, tidak bisa membuatnya bermakna karena mereka tak bisa membuat ketentuan harga. Mekanisme pasar digerakkan oleh pusat. Pusat adalah pemilik modal, kapitalis. Pusat menjadi sangat dominan. Ia menduduki posisi “atas” di hadapan lokal yang hanya berfungsi sebagai subordinat dalam binary opposition yang hierarkis itu. Darsa dan para penyadap lain tidaklah berarti apa-apa di hadapan kuasa tersebut, mereka tidak berdaya.

Kelak pada Belantik, novel yang oleh pengarangnya diberi judul kecil Bekisar Merah 2 itu, ketakberdayaan mereka semakin menampakkan sosoknya. Darsa dan kawan-kawan “dibunuh” oleh teknologi baru yang masuk ke desanya: Listrik. Tiang-tiang listrik yang ditancapkan di sepanjang jalan menggeser pohon kelapa. Sepuluh dari dua belas pohon kelapa Darsa harus ditebang. Darsa pun hanya bisa termenung. Dalam konteks ini, listrik bisa disebut teknologi pendukung kapitalis yang masuk melalui program kekuasaan negara yang disebut pembangunan. Inilah salah satu teknologi cikal-bakal semaraknya kebudayaan massa. Kita tahu belaka, kebudayaan massa yang meruah melalui teknologi media telah meninabobokan kita dalam ranjang kenikmatan yang diciptakan kapitalis. Kita seperti ada dalam suatu mimpi indah dan oleh sebab itu enggan keluar darinya. Segala usaha yang bertujuan untuk mereformasi itu menjadi momok. Kita terjebak dalam kesadaran palsu bahwa dunia saat ini adalah sesuatu yang ideal.

.

Selanjutnya, jika kita memasukkan Darsa dan kawan-kawan ke dalam kelas masyarakat bawah, inilah cermin keterdesakkan dan ketidakberdayaan kaum itu di hadapan penguasa yang mengembangkan sistem perekonomian kapitalis. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk melawan apalagi mengubah tatanan. Demikian juga dengan Kanjat, satu-satunya intelektual dari Karang Soga. Sarjana pertanian ini tidak punya daya. Ia hanya bisa melakukan penelitian tentang kehidupan para penyadap yang terdesak itu untuk skripsinya. Kita tahu, ujung dari skripsi hanyalah rumah lembab bernama perpustakaan. Kanjat tidak berdaya dan tidak ada pemihakan pihak akademis (kampus) atas keprihatinan Kanjat ini. Dalam teks, Tohari memang tidak menyebut-nyebut hal ini, tetapi dalam realitas hal demikian juga tidak ada. Saya belum menemukan dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia ada kampus yang mendukung mahasiswa melakukan penelitian berbau gerakan. Di zaman orde baru hal semacam ini malah dilarang karena kampus merupakan perpanjangan penguasa juga. Maka jika pada Bekisar Merah Kanjat menjadi terpencil karena ketidakberdayaannya, dalam Belantik, sarjana yang kemudian menjadi dosen Unsoed ini malah tidak dapat mempertahankan milik pribadinya. Ia harus rela menyerahkan Lasi, istri yang sangat dicintainya, direbut Bu Lanting, “anak kapitalis” beragama uang yang dikawal Sersan Bagas, penggada penguasa kapitalistik. Sebuah bogem mentah yang menghantam tubuh Kanjat adalah sebuah ironi, bahkan tragedi intelektual pada zaman tersebut.

.

Dalam prespektif lain, kita dapat melihat bahwa masalah sosio-kultural masyarakat Karang Soga, yang tidak lepas dari masalah kemiskinan yang harus dihadapinya juga mengungkapkan masalah gender, khususnya kehidupan wanita Jawa/Indonesia atau Asia pada umumnya. Semua itu terpulang kembali pada tatanan masyarakat yang kita kenal sebagai adat-istiadat. Lasi, seorang wanita terpaksa dijadikan ‘barang dagangan’ atas ketidakberdayaan sosial-ekonominya. Semula Lasi akan diberikan kepada Handarbeni (belantik kelas bawah), namun karena Bambung (pelobi kelas internasional) menghendakinya, maka terpaksa Handarbeni ‘gigit jari’ setelah melalui proses negosiasi pihak Bu Koneng dan Bu Lanting: dua belantik suplayer perempuan. Hal yang menarik dari tokoh Handarbeni dan Bambung adalah keduanya orang Jawa, satu daerah asal dengan Lasi, yang dengan demikian bisa dikatakan memiliki kesamaan budaya lokal. Realitas tekstual ini menimbulkan asosiasi dalam benak saya: bahwa Tohari sedang membongkar perilaku manusia Jawa urban. Lasi dari kelas bawah, sedangkan Handarbeni dan Bambung merupakan urban Jawa yang hidup berdekatan dengan kuasa-raja. Lasi dengan konsep Jawanya, ‘nrimo’ di makan orang, sedangkan Handarbeni dan Bambung memakai dalil-dalil kejawaan-nya untuk memakan orang, tidak peduli orang tersebut sama-sama berasal dari Jawa.

.

Para pendengar, khususnya adik-adik pelajar yang berbahagia.

Uraian singkat tadi paling tidak telah memberikan sedikit gambaran pada kita bahwa di dalam karya sastra terdapat banyak nuansa kehidupan. Maka tidaklah mengherankan apabila ada yang menyatakan bahwa karya sastra itu bersifat poliinterpertable atau multi tafsir atau banyak makna. Kini tinggal tergantung pada kita sebagai pembacanya. Seberapa luas horizon harapan yang kita miliki untuk dapat menyingkap tabir makna yang tersembunyi di balik karya sastra tersebut. Ternyata proses memahami sebuah karya sastra bagi mereka yang ‘’pengalaman’’ sastranya atau ‘’horison harapan pembacanya’’ masih terbatas bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Karena dalam proses pembacaan karya sastra tersebut akan muncul berbagai pertanyaan yang perlu dijawab. Untuk itulah diperlukan partner untuk berdiskusi tentang segala hal yang terkait dengan proses pembacaan dan sekaligus pemahaman karya sastra tersebut. Dengan demikian, perlu ada sedikit perubahan paradigma yang lebih menekankan bahwa pembelajaran sastra bukanlah sekedar menghapal berbagai definisi tentang pengertian sastra atau mengidentifikasikan sejumlah tokoh, latar dan alur dalam sebuah cerita. Tetapi perlu difokuskan kembali bahwa muaranya yakni untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra.

.

Pengalaman sastra mencakup dua hal, yakni pengalaman apresiatif dan pengalaman ekspresif. Pengalaman berarti jumlah keseluruhan sesuatu yang terjadi pada diri kita yang menyenangkan, yang kita amati, yang kita pikirkan, yang kita prakasai, yang kita kerjakan bersama-sama. Pengalaman menyebabkan manusia menjadi lebih arif, lebih mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang pelik. Segala kegiatan yang berkaitan dengan sastra disebut pengalaman sastra. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan penikmatan, penghargaan, dan pengenalan secara mendalam terhadap pengalaman manusia yang indah disebut pengalaman apresiatif. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan pengungkapan atau ekspresi diri manusia melalui sastra disebut pengalaman ekspresif (Ardiana dalam Aminuddin, 1990: 223).

.

Sebagai penutup, Saya tekankan sekali lagi bahwa yang telah diuraikan hanyalah merupakan sebagian kecil dari permasalahan pembelajaran sastra. Karena itu, demi pemahaman lebih lanjut, Saya anjurkan untuk memperluas horizon harapan kita selaku pembaca dengan cara banyak membaca, membaca dan membaca. Penguasaan atas horizon harapan pembaca akan mempermudah kita dalam memahami makna sebuah karya sastra. Dengan model pemaknaan baru tentunya akan lebih mengasyikkan karena kita mampu menguak ‘tabir misteri’ yang menyelubungi karya sastra sehingga dapat timbul apresiasi yang wajar


Selamat Belajar dan Berkarya!

Daftar Pustaka

Ahmad Tohari. Bekisar Merah & Belantik (Bekisar Merah 2)

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Bebeberapa Prinsip dan Model Pengembangannya. Malang: YA 3 – Malang.

Barker. Chris. 2004. Cultural Studies: Teori & Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bani Sudardi. 2003. ‘’Metode Apresiasi Karya Sastra Mutakhir’’ dalam Bahan Pendidikan dan Pelatihan Pengkajian Sastra Mutakhir dan Pengajarannya: Prespektif Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surakarta: UMS – DIKPORA – ABASIA.

Wahyu Wibowo. 1984. Katarsis: Kumpulan Esai Sastra. Flores: Nusa Indah.

www.cybersastra.net

_____________

Artikel ini disampaikan pada acara siaran pembinaan bahasa Indonesia di RRI Surakarta, 2007