Pembelajaran Anak

Pembelajaran Anak

Pembelajaran Anak

.

Pengantar

.

Para psikolog membagi fase pascakelahiran anak menjadi beberapa fase: 1) fase menyusui, dimulai sejak kelahiran sampai berumur dua tahun. Sebagian psikolog membagi fase ini dalam dua tahap: fase bayi yang mencakup dua pekan pertama sejak kelahiran, dan fase menyusui yang dimulai sejak akhir pekan kedua sampai umur dua tahun; 2) fase anak awal, dari usia dua tahun s/d enam tahun; 3) fase anak pertengahan yang dimulai sejak umur enam tahun s/d sembilan tahun; 4) fase anak akhir, dimulai sejak usia sembilan s/d dua belas tahun (Najati, 2003:24).

Perilaku anak terhadap orang tua seringkali ‘tidak/kurang menyenangkan’ hati orang tua, terutama sekali anak-anak dalam masa perkembangan awal, yakni antara kisaran tahun pertama sampai dengan tahun ketiga. Masa-masa ini sering membuat orang tua jengkel karena sikap keras kepala dan belum adanya kemampuan memahami orang lain. Oleh sebab itu, pihak orang tua dituntut menunjukkan sikap dan perilaku luhur di hadapan anaknya sehingga hal semacam itu merupakan sarana pelatihan bagi si anak untuk dapat mulai belajar mengahayati akhlak terpuji.

Ucapan yang dikeluarkan atau tindakan yang dilakukan oleh orang tua bisa menjadi semacam prototipe dari seberapa dalam pemahaman dan pengahayatan mereka terhadap akhlak karimah. Misalnya, bila anak menangis tiada henti karena meminta mainan atau makanan, sedang orang tua tidak dapat membelikannya dengan berbagai alasan dan pertimbangan, maka jangan sekali-kali orang tua menghardik dan memukul si anak, apalagi disertai kata-kata kasar. Orang tua yang memberikan sikap dan ucapan tidak terpuji kepada anak semacam itu secara tidak disadari telah turut serta menanamkan akhlak rendah pada anaknya.

Penyajian secara lengkap kisah nabi Ya’qub dan putra-putranya dalam QS. Yusuf sebenarnya merupakan didikan kepada umat manusia sepanjang masa, bagaimana kaharusan orang tua melatih anak-anaknya berakhlak karimah. Pertama kali adalah praktek orang tua itu sendiri dalam menghadapi tingkah laku anaknya yang tidak berkenan di hatinya. Ibu bapak tidak cukup hanya memberikan nasihat kapada anak-anaknya tentang segala norma-norma akhlak terpuji. Mereka juga harus mengawalinya dalam penerapan menghadapi tingkah laku anak-anaknya. Perlakuan terpuji dari bapak dan ibu terhadap anak ‘yang berbuat salah atau tidak baik’, akan meresap pada jiwa mereka sehingga akan terbentuk pribadi luhur pada mereka. Misalnya anak yang sering dipukul atau ditempeleng kareana berbuat salah, kelak akan berbuat kasar dan rendah budinya. Begitu juga anak yang sering dicerca akan menumbuhkan sikap dan sifat yang rendah.

Karena itu, kesadaran atas pemahaman perkembangan fase-fase ini sangat penting bagi para orang tua. Penanaman nilai-nilai moral dan dasar-dasar agama kepada anak sangat efektif bila dilakukan terutama pada fase anak dini dan pertengahan. Beberapa metode penanaman, misalnya: nasihat dan bimbingan dengan menggunakan sarana motivasi dan pujian (reward) dengan tidak memberi sanksi kecuali jika si anak telah sampai pada fase anak akhir, dan itu pun dalam keadaan terpaksa, ketika dua metoda pertama tidak mempan, dan dikhawatirkan anak akan melakukan penyimpangan dan akhlak buruk yang nantinya akan menjadi kebiasaan buruk. Pemberlakuan sanksi pada fase ini dengan asumsi bahwa di usia-usia tersebut persepsi anak sudah terbentuk dengan matang, kemampuan penalarannya tumbuh dan telah tampak perasaan jati diri, kecenderungan independensi dan kemandiriannya. Namun seyogyanya pemberlakuan sanksi itu tidak berat agar tidak berpengaruh buruk terhadap kepribadian si anak yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa takut dan tidak percaya diri, serta menimbulkan kebencian kepada orang yang memberinya sanksi. Kebencian ini nantinya menular kepada semua orang dewasa dan orang-orang yang berpengaruh di masyarakat sekelilingnya dan masyarakat secara umum.

Memperhatikan

Pengaruh Keturunan dan Lingkungan

Para pakar psikologi kontemporer banyak mengadakan penelitian yang bertujuan menentukan pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap perbedaan individu. Bebapa penelitian ini berusaha membuktikan pentingnya faktor keturunan, sedang yang lain berusaha membuktikan pentingnya lingkungan. Namun, kesimpulan final yang dicapai oleh pakar psikologi dari hasil semua penelitian di bidang ini adalah faktor keturunan dan lingkungan berinteraksi bersama dalam menimbulkan perbedaan individu, dan sulit memisahkan pengaruh keduanya secara total. Sebagian besar cirri-ciri fisik seseorang amat dekat dengan pengaruh keturunan. Sementara secara emosional, lebih merupakan pengaruh dari faktor lingkungan dan kemampuan belajar si individu.

Rasulullah SAW juga telah mengisyaratkan pengaruh keturunan terhadap perilaku manusia dalam sabdanya: ‘’Pilih-pilihlah untuk nuthfah kalian. Nikahilah orang-orang yang sekufu’ (seimbang) dan kawinilah mereka.’’ (HR Ibn Majah). Dalam hadits ini terdapat pelajaran bagi seorang calon suami dalam memilih calon istri dari keturunan yang baik agar nantinya melahirkan keturunan yang baik pula, karena di sinilah sebagian besar pembentukan kepribadian terjadi. Memperhatikan factor lingkungan social dan budaya di mana ia hidup, adat kebiasaan, nilai dan perilaku orang tua, cara mereka mendidik, lingkungan teman dan sekolah, sarana informasi yang bermacam-macam, dan dari kejadian dan pengalaman yang dilewatinya dalam kehidupan sehari-hari adalah penting bagi perkembangan karakter dan kepribadian si anak.

Demikian pula dengan kewaspadaan terhadap sejumlah adat dan kebiasaan. Jika adat kebiasaan dan akhlak manusia mengakar dengan kuat akibat berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, maka sulit baginya untuk mengubah adat dan akhlaknya, kecuali dengan usaha ekstra keras dan keinginan ekstra kuat (Mertodipuro, 1988; Covey, 1997).

.

Spirit Pembelajaran

Pembelajaran merupakan tanggung jawab setiap insan yang mengaku dirinya manusia. Karena pada hakikat pembelajaran adalah proses humanisasi, yakni proses pemanusiaan manusia. Dimana manusia tumbuh menjadi yang terbaik dari dirinya sendiri sebagai makhluk bio-psiko-sosial-spiritual ciptaan tuhan (Harefa, 2003:. 23).

Dengan kesadaran seperti itu, semua pihak akan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Pengajar, pembelajar, orang tua atau siapapun juga akan berusaha menjadi tumbuh yang terbaik dari dirinya sendiri. Belajar dan mengajar dalam kacamata Rasulullah SAW adalah mengubah perilaku, mendidik jiwa dan membina kepribadian manusia.

Motivasi merupakan salah satu prinsip belajar yang penting. Banyak penelitian empiris berhasil menjelaskan urgensi motivasi belajar. Menurut hasil penelitian bahwa proses belajar terjadi dengan cepat dan efektif jika ada motivasi. Membangkitkan motivasi belajar pada manusia dapat dilakukan dengan metode janji (targhîb), ancaman (tarhîb), pemberian ganjaran (reward) dan bercerita.

Dalam upaya mendidik anak untuk melakukan kebajikan, orang tua memerlukan metode mencintai kebaikan karena dorongan mendapatkan imbalan konkret (tabsîr) pada tahap awalnya. Dalam perjalanan selanjutnya, orang tua dituntut untuk selalu memberikan pengertian kepada anak-anaknya tentang urgensi kebajikan itu sendiri bagi dirinya dan umat, baik di dunia maupun akhirat. Dengan demikian anak akan terlatih untuk berbuat baik tanpa harus ada imbalan konkret atau iming-iming janji dari orang tua. Misalnya, setiap orang yang berakhlak baik kepada orang lain, maka ia akan diperlakukan baik pula oleh orang lain dan memperoleh kemudahan dalam berurusan dengan orang lain. Kemudahan dalam berurusan dengan orang lain akan membawa kemajuan dan keuntungan bagi diri sendiri. Sebelum menerapkan metode ini sudah barang tentu orang tua dituntut memberi teladan terlebih dahulu.

Untuk menanamkan sikap kepedulian anak terhadap orang-orang yang lemah, kekurangan, terlantar, susah menderita, dan terkena musibah, orang tua dapat menggunakan metode ta’tsîr, yaitu membangkitkan perasaan anak berbelas kasihan. Orang tua dapat bertanya kepada anaknya mengenai hal-hal yang menyentuh hatinya guna menjajagi perasaannya. Misalnya:

Orang tua : Kalau kamu lapar, senangkah kamu diberi makanan?

Anak : Senang

Orang tua : Jika kamu senang diberi makanan, lalu kamu makan sampai kenyang, apakah kamu senang kepada orang yang menolong kamu itu?

Anak : Senang

Orang tua : senangkah kamu menjadi orang yang baik dan suka menolong orang?

Anak : Senang

Orang tua : Apakah saat kamu lapar kamu menderita?

Anak : Ya

Orang tua : Apakah kamu senang menderita?

Anak : Tidak

Orang tua : Sekarang apakah kamu mendengar tangis anak tetangga itu?

Anak : Ya

Orang tua : Apakah kamu tahu sebabnya?

Anak : Karena belum makan, sebab orang tuanya tidak masak, karena tidak punya beras

Orang tua : Apakah kamu tidak kasihan melihat dia lapar?

Anak : Ya, kasihan

Orang tua : Apa tindakanmu?

Anak : Saya akanmemberinya makanan

Orang tua : Dari mana kamu mendapatkannya?

Anak : Dari uang saku saya hari ini yang belum saya belanjakan

.

Selain itu, anak-anak juga bisa dilatih untuk menyantuni anak-anak yatim atau orang-orang jompo atau juga para kerabat yang hidup dalam kekurangan. Anak-anak di ajak pergi ke panti asuhan atau panti jompo atau kerabat dekat yang kekurangan untuk menyampaikan bantuan materi. Dengan latihan semacam ini, diharapkan anak memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Untuk menggunakan metode ancaman (tarhîb), orang tua hendaknya terlebih dahulu memiliki ukuran-ukuran perilaku yang tepat dan benar untuk dididikkan kepada putra-putrinya atau anak didiknya. Bila anak mengetahui bahwa orang tuanya tidak konsisten dalam berpegang kepada norma kebaikan, hal semacam ini akan mendorong anak untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Orang tua harus tampil sebagai teladan dalam menegakkan komitmen pada agamanya secara penuh. Metode ini digunakan bilamana orang yang melakukan kesalahan sudah kita peringatkan dan tidak mau menghentikan perbuatan negatifnya, bahkan menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Dengan metode ini diharapkan yang bersangkutan sadar dan menghentikan kelakuannya yang merugikan orang lain. Sebenarnya menggunkan metode janji (targhîb), dan ancaman (tarhîb) secara bersamaan dapat merangsang dan mengarahkan motif menuju tujuan yang diharap tanpa mengurangi sikap berlebihan dalam harapan dan putus asa.

Penelitian empiris berhasil membuktikan urgensi ganjaran dalam mendukung respon-respon meneguhkan belajar. Ganjaran itu tidak mesti berupa materi, akan tetapi dapat berupa non materi dalam bentuk pujian, menganggap bagus atau motivasi. Pujian berguna untuk menambah semangat dan membantu percepatan kemajuan belajar si anak. Tak pelak lagi, dalam pengajaran dan pendidikan, ganjaran lebih efektif dibanding hukuman. Hukuman khususnya hukuman fisik yang keras terkadang menimbulkan pengaruh yang buruk dalam kepribadian seorang anak.

Kisah dapat menguatkan perhatian, merangsang keinginan mendengar serta menimbulkan antusiasme untuk mengikuti kejadian. Karena itu penggunaan kisah dalam pengajaran dan pendidikan telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat. Alquran menggunakan kisah dalam mendidik jiwa manusia, menasihati, membimbing, dan mengajarkannya pelajaran dan hikmah. ‘’Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi Ulul Albab’’ (QS. Yusuf [12]: 111).

Rasulullah SAW juga menggunakan kisah dalam mendidik jiwa sahabat. Kisah memiliki pengaruh besar dalam merangsang pikiran dan keinginan mereka untuk mendengar guna memetik pelajaran dan hikmah. Beliau menggunakan kisah tujuan-tujuan pendidikan seperti mengajarkan para sahabat keutamaan iman, islam, mengasihi dan berhubungan baik dengan manusia dan bersedekah pada fakir miskin, menyayangi hewan, membantu orang yang membutuhkan, serta menghiasi diri dengan akhlak mulia dan sifat terpuji.

Nenek-kakek atau orang tua kita dulu juga sering menyampaikan kisah / cerita / dongeng sebelum tidur. Entah itu tentang kisah kancil dan buaya, kancil mencuri timun, bawang merah-bawang putih, dsb. Namun, sayangnya kini kondisi semacam itu sudah jarang kita temukan. Padahal kedekatan psikologis dan jalinan emosional yang terbina melalui penuturan kisah itu sangat-sangat berarti bagi perkembangan jiwa si anak. Lihatlah, kini kehadiran kisah sudah mulai tergeser oleh komik, sinetron, vcd, film, game, dsb. Akibatnya hubungan kedekatan antara anak dengan orang tua sudah dapat dipastikan tidak seperti jaman kita kecil dulu ketika kakek, nenek, atau orang tua kita sering berkisah. Ada ‘sesuatu yang hilang’ pada generasi kita dan generasi anak-anak kita. Akankah kondisi ini akan terus dipertahankan?

Salah satu prinsip belajar yang penting adalah pengulangan. Prinsip ini berfungsi memelihara pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki seseorang. Sebenarnya, kebanyakan apa yang dipelajari manusia membutuhkan pengulangan atau latihan agar proses belajar itu sempurna. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara tingkatan ingatan dengan kuantitas pengulangan. Pengulangan dapat memperteguh pengetahuan dan keterampilan selain membantu mengingat dengan baik. Pengulangan juga sangat penting dalam meneguhkan kebiasaan. Jika kebiasaan diulang beberapa kali, kebiasaan itu akanmenetap dan mengakar serta muncul secara otomatis tanpa dipikirkan. Jika seorang anak dididik untuk selalu berkata benar sejak kecil, maka berkata benar akan menjadi kebiasaan tetapnya yang selalu muncul secara otomatis di setiap kondisi.

Marilah kita mulai proses perbaikan ini. Kita mulai dari hal yang terkecil. Mulailah dari diri kita dan lingkungan sekitar kita. Mudah-mudahan kita bisa memupuk spirit pembelajaran yang telah mampu menjadi pembebas dari tiran-tiran kemanusiaan.***

.

.

Sumber Bacaan:

.

Adhim, Mohammad Fauzil. 2001. Kado Pernikahan untuk Istriku. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Covey, Stephen. R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta : Binarupa Aksara.

Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. Yogyakarta : Gradien

Marshall, Ian dan Danah Zohar. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.

Mertodipuro, Sumantri. 1988. Memperkuat Daya Kemauan. Jakarta : Penerbit Gunung Jati Jakarta.

Najati, M. Utsman. 2003. Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi. Jakarta: Hikmah.

Patton, Patricia. 1998. Emotional Intelligence di Tempat Kerja : Menjembatani Celah antara Apa yang Kita Ketahui dan Apa yang Kita Lakukan. Jakarta : Pustaka Delapratasa.

Purwanto, M. Ngalim. 1997. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sujanto, Agus dkk. 1999. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Bumi Aksara.

Thalib, M. 1996. Pendidikan Islami metode 30 T. Bandung: Irsyad Baitus Salam.

________. 1996. 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih. Bandung: Irsyad Baitus Salam.

Wirajaya, Asep Yudha. 2004. ‘’Spirit Pembelajaran dan Pembebasan’’ dalam Dialektika – Solopos, 13 Februari 2004.