Komunikasi dan Pendidikan Anak

Komunikasi dan Pendidikan Anak

Komunikasi dan Pendidikan Anak

.

Komunikasi

Berbicara tentang komunikasi ada beberapa cerita menarik di antaranya: tentang kejenuhan seorang perempuan dalam mengarungi bahtera mahligai kehidupannya.

Begitu perempuan masuk dalam lembaga perkawinan sederet pekerjaan dengan judul “melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga” sudah menanti. Jenis pekerjaan yang terkandung dalam kata “mengurus” bisa bervariasi, tergantung dari jumlah pembantu yang disewa oleh sebuah rumah tangga. Tetapi pada pokoknya tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak ia bangun pagi hingga malam hari, bahkan mungkin menerobos mimpinya pula. Walaupun sebagian kerja fisik, seperti berbelanja, membersihkan rumah, atau memasak kebanyakan didelegasikan ke pembantu, tujuan akhir seluruh pekerjaan ini, yaitu menciptakan suasana rumah tangga yang tenang, tentram dan penuh cinta kasih demi kesehatan fisik dan mental suami, menuntut kesigapan dan kesiagaan istri sepanjang waktu. Semua berlangsung teratur dengan asumsi beginilah seharusnya kehidupan berkeluarga yang normal dan alamiah.

Keteraturan ini pada saatnya mencapai titik jenuh. Dengan tanggung jawab sebagai perawat kesejahteraan keluarga, pengalaman dan pengetahuan kebanyakan istri terbatas pada masalah kerumahtanggaan dan keluarga. Maka, muncullah stereotip bahwa perempuan gemar bergunjing, hanya peduli soal-soal “kecil”, dan yang paling telak, tidak rasional. Sang suami yang sudah lelah seharian mengurus soal-soal “besar” tak tertarik pada cerita tentang tukang sayur yang menipu, suami tetangga main gila, atau anak ketahuan menyontek. Ia pilih bergunjing dengan kawanannya atau bercengkerama dengan perempuan yang lebih “berpengalaman”. Memang kadangkala karena desakan kebutuhan ekonomi istri diperbolehkan bekerja di luar rumah. Tapi ini tidak membebaskannya dari kewajiban yang utama. Selain itu, kalau sampai terjadi ketidakberesan di rumah, kesalahan ditimpakan pada sang istri.

Cerita berikutnya tentang seorang psikiater yang sedang mewawancarai pasiennya dalam satu session terapi. Pasien itu berkata, ‘’Suami saya baik sekali. Bila kami bertengkar dan ia salah, ia cepat-cepat mengakui kesalahannya dan meminta maaf.’’

‘’Bagaimana kalau Nyonya yang salah?’’ tanya psikiater.

Pasien itu menjawab, ‘’Saya salah? Ooo, itu tidak mungkin. Tidak mungkin hal itu terjadi, Dok.’’

Betapa seringnya kita mendengar atau menjumpai kejadian-kejadian di atas. Sebenarnya masalah pada kedua contoh di atas, pada satu sisi sang istri tidak berani mengungkapkan/menyampaikan keluhan-keluhannya pada suami. Sementara di sisi lain, sang suami tidak mau membuat hati sang istri ‘terluka’. Padahal kejadian-kejadian seperti itu selain disebabkab komunikasi pasutri kurang/tidak terbina secara baik, juga ditimbulkan oleh persepsi yang tidak cermat dan dapat mengakibatkan distorsi-kognitif atau lebih sederhananya mengakibatkan anggapan kita menjadi kacau.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hampir 70% waktu kita digunakan untuk berkomunikasi. Itu berarti aktivitas kita mulai dari bangun tidur bahkan sampai tidur lagi, tak pernah lepas dari berkomunikasi. Dengan kata lain, kualitas hidup kita banyak ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi. Bagaimana komunikasi kita dengan diri kita, sesama manusia (termasuk istri/suami, anak, mertua, tetangga, dsb), dan Allah.

Masalah komunikasi yang pertama banyak ditentukan oleh kesadaran dan kemauan kita untuk selalu instrospeksi atau mawas diri. Apakah hari ini kita sudah berusaha meningkatkan kualitas diri kita dari hari kemarin, termasuk dalam hal komunikasi.

Masalah kedua banyak ditentukan oleh kesadaran dan kemauan kita untuk selalu ingat dengan Allah (Dzikrullah), baik dalam keadaan duduk, berdiri, dan berbaring. Karena dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.

Masalah ketiga banyak ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan mulut kita. Alhasil urusan mulut banyak memberikan andil dalam perjalanan kita menempuh kehidupan. Pertama, bagaimana kita menangkap komunikasi orang lain. Kedua, bagaimana kita mengkomunikasikan apa yang ingin kita nyatakan, rasakan maupun yang tidak kita inginkan.

Pertengkaran orang tua, biasanya di awali oleh sebuah proses komunikasi yang gagal. Saling menyalahkan satu sama lain bukan lagi menjadi monopoli mereka yang sudah bercerai. Mereka yang belum lama menikah pun sering melakukan hal yang serupa. Mereka mudah menyalahkan jika teman hidupnya melakukan sesuatu secara kurang pas menurut ukurannya (meskipun secara objektif apa yang dilakukan tidak salah). Mereka yang bertengkar mungkin puas, bisa saling lempar tuduhan dan kesalahan, tetapi apabila hal ini diketahui oleh anak-anak akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan anak terhadap orang tua mereka.

Misal: suami pulang terlambat, istri menyambut dengan gembira. Ia ungkapkan kegembiraannya setelah cemas menunggu. Karena persepsi suami keliru, ia menganggap ungkapan istri hanyalah kamuflase dari ketidaksetiaannya. Suami menanggapi, ‘’Ah, bilang saja kamu tidak senang aku pulang cepat’’. Istri akan terkejut dan mengira suami mencari gara-gara, dst.

Munculnya persepsi semacam ini, disebabkan beberapa faktor, sebagai berikut.

1. kebiasaan buruk dalam keluarga yang sering membicarakan keburukan orang lain.

2. salah persepsi yang tidak diluruskan.

3. pola saling menyalahkan yang tetap dipertahankan.

Menurut Ali. ra., ‘’sahabat terbaik bukanlah orang yang selalu membenarkanmu. Tetapi sahabat terbaik adalah yang membuat kamu benar’’.

Pendidikan Anak

Sebelum berbicara lebih jauh, sebaiknya kita simak cerita berikut. ‘’Menurut Hernowo, Kabag SPK (Sentra Pengobatan Keracunan) IRD RSUD dr. Soetomo – Surabaya, sebagian besar pelaku bunuh diri yang dikirimkan ke IRD SPK adalah perempuan yang memiliki sifat manja (ngaleman). Itu berarti pada masa hidupnya, dia sangat manja kepada orang tuanya, terutama ibunya.’’

Sepanjang yang saya ketahui, sikap manja tidak selalu berhubungan dengan kasih-sayang yang berlebihan sehingga membuat orang tua extra hati-hati dalam memberikan kasih sayang dan memilih bersikap keras pada anak. Padahal sikap keras bisa menyebabkan mental anak kurang kokoh. Kekerasan juga berakibat si anak belajar tentang kekerasan itu sendiri, yang pada akhirnya anak menganggap bahwa kekerasan akan dapat menyelesaikan semua masalah. Selain itu, kekerasan juga membuat ‘tabungan’ masa kecil sang anak dipenuhi kenangan tak sedap, sering dipukuli, dicaci-maki, dianggap kelahirannya menyusahkan atau kehadirannya tidak diharapkan dan tidak membanggakan orang tua, biasanya ‘tabungan’ ini akan kembali beserta bunga, tetapi dalam bentuk kenyataan bahwa anak tidak merasa punya kedekatan dengan orang tuanya kelak pada saat renta. Kalaupun dating, ia hanya sekedar memenuhi kewajiban bukan karena cinta.

Perilaku pengasuhan orang tua yang paling meninggalkan jejak ingatan yang paling menyakitkan ternyata adalah perasaan diabaikan. Dipukul, bila ini lalu menyebabkan anak merasa terpacu untuk menampilkan hal terbaik dalam dirinya, biasanya setelah dewasa masih menjadi hal yang termaafkan. Tetapi kalau anak dibesarkan dengan perasaan bahwa ia diabaikan, tidak dicintai dan dianggap sebagai sumber masalah, susah mengharap ia akan dekat dengan orang tuanya. Percayalah, di saat kita merasa diri kita berharga untuk orang lain karena dapat memberinya perhatian dan kepedulian, saat itu kita malah akan merasa sangat kaya dan bahagia. Untuk itu mari kita coba terapkan pepatah masih muda menabung, sudah tua beruntung dalam pola pengasuhan anak-anak kita.

Sebenarnya sikap manja lebih berhubungan dengan pola komunikasi yang kita bangun kepada anak. Secara sederhana, kita dapat membagi komunikasi ini ke dalam dua macam, yaitu komunikasi kepada anak dan komunikasi bersama anak.

Komunikasi kepada anak, maksudnya adalah bagaimana orang tua berbicara kepada anak, menyatakanmaksud dan nasihat kepada anak, serta mendiskusikan sesuatu kepada anak. Termasuk: menyuruh, melarang, menganjurkan, menceritakan sesuatu.

Komunikasi bersama anak, maksudnya adalah segala bentuk perilaku kominikasi kita yang tidak ditujukan kepada anak, tetapi anak dapat menangkap, mendengar dan mempersepsikan apa yang kita komunikasikan. Misalnya: Ibu berbicara kepada bapak dengan cara yang manja, merajuk-rajuk dan anak melihat perilaku tersebut, maka anak akan menerima proses belajar itu secara otomatis dan mempersepsi apa yang ia lihat, dengar, dan rasa.

Komunikasi orang tua berperan menjadikan seorang anak memiliki sifat manja. Anak belajar melakukan identifikasi diri, tidak sekedar imitasi atau meniru-niru dari orang tua. Anak belajar mengahayati peristiwa ‘’dari bagaimana orang tua menghayati’’. Dalam hal ini, anak belajar dari ekspresi yang tampak. Bagi Ibu dan Bapak, mungkin peristiwa tadi begitu menyenangkan. Tapi, hati-hatilah dalam menempatkan kemanjaan agar tidak terbawa kepada anak.

Masih sejenis dengan ini adalah respon kita ketika mengalami sesuatu: entah tersandung batu, entah digelitik suami, entah ketika udara begitu panas atau dingin; baik dalam suasana bercanda, serius, santai maupun tegang. Kadangkala ketika udara terasa panas, Ibu cepat mengatakan, ‘’Aduuuh, panas, Mas. Kenapa sih kok panas? Aduuh…..!’’

Dari sisi pengucapannya. Kalimat itu bisa membawa anak belajar cengeng dan manja. Dari sisi isi, kalimat-kalimat sejenis ini mendorong anak untuk mudah mengeluh, baik karena kondisi cuaca, keadaan ataupun zaman (seperti yang sering kita lihat di sekeliling kita). Kalimat seperti itu juga merangsang anak untuk tidak mensyukuri nikmat Allah dan menilai keadilan Ilahi dengan cara yang sedemikian dangkal. Hanya karena hawa panas yang agak kuat, kita merasa Allah sedang ‘’tidak berpihak kepada kita’’, atau ‘’kita merasa Allah tidak mendengarkan doa kita’’. Jika demikian, alangkah seringnya kita bertuhan dengan sikap yang kekanak-kanakan dan egois. Alangkah seringnya kita ini keminter (sok cerdas) di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Luas Pengetahuan-Nya.

Ungakapan spontan tentang apa saja di sekeliling kita baik ucapan maupun perilaku kita, terhadap suami/istri, tetangga, pembantu, saudara, tetangga, dsb, merupakan alat bercermin bagi anak. Anak belajar menghayati hidup sehari-hari, memaknai rasa capek, ganjalan, dan berbagai bentuk kejadian sebagaimana ia dapatkan dari hasil identifikasi orang tuanya, terutama ibu.

Sebagian orang tua merespon anak yang pulang dalam keadaan basah kuyup dalam ungkapan gembira. Bahkan sebagian ada yang bangga, ‘’Lihat, dia datang. Dia memang punya semangat. Itu baru anak Mama!’’

Tapi sebagian yang lainnya segera menyambutnya dengan sejumlah pertanyaan, secara langsung maupun tidak kepada anak. ‘’Aduuh,….kenapa kamu basah kuyup begini? Tadi kan sudah kelihatan berawan, kenapa tidak membawa jas hujan atau payung. Coba kalau bawa paying, kamu tidak sampai kehujanan seperti ini. Makanya, lain kali dengar apa kata Mama ini. Kasihan sekali kamu. Pasti kedinginan…dst’’

Atau, ‘’Aduuuh, Pak. Tadi kenapa Didin nggak disuruh bawa payung? Tuh kasihan dia. Kedinginan pasti. Coba tadi kamu perhatikan sedikit, dia nggak harus pulang dengan kehujanan begitu…..dst’’.

Kalimat ini akan lebih heroik lagi kalau diteruskan hingga selesai dan diucapkan berulang-ulang, sementara anak sudah tidak merasa kedinginan (secara fisik). Kalimat-kalimat tadi meskipun mengekspresikan perasaan sayang seorang ibu, tetapi efeknya justru tidak menguatkan jiwa sang anak. Anak merasa tertekan oleh ‘’kesalahan-kesalahannya’’ (apalagi jika ibu sebelumnya sudah mengingatkan untuk membawa paying) di saat dia masih kedinginan. Secara tidak langsung anak belajar untuk mengasihani dirinya ‘secara berlebihan’ sehingga ia melatih dirinya untuk tidak berani mengahadapi hujan dan tidak tahan terhadap ‘rintangan-rintangan kecil’ yang ia jumpai. Ia hanya akanmenjadi manusia biasa-biasa saja sebatas fasilitas yang sanggup ia dapatkan dari orang tuanya. Akibatnya, biaya mendidik akan sangat mahal.

Ini berbeda dengan kalimat yang pertama. Pada kalimat pertama, ungkapan rasa kasihan ibu tidak ditunjukkan dengan kata-kata kasihan, tetapi dengan kata-kata yang menunjukkan kegembiraan sang ibu melihat anaknya datang. Kalimat ini memberi efek lebih membesarkan hati dan menguatkan semangat. Apalagi kalau diikuti tindakan memberikan handuk (tubuh yang basah dikeringkan dengan handuk, bukan omelan), mengantarnya ke kamar mandi, (memandikannya, kalau masih kecil), memberikan minyak kayu putih dan pakaian ganti yang hangat, membuatkan minuman hangat dan menemaninya sambil mendengarkan cerita-cerita dari anak. Sikap inilah yang akan mengahangatkan jiwa anak. Bukan kata-kata penyesalan dari ibu lantaran anak tidak membawa payung atau jas hujan.

Situasi semacam ini, yang melahirkan penghayatan hujan sebagai nikmat dan saat-saat akrab nan indah akan terus membekas dalam jiwa dan menambah ‘tabungan’ kenangan indahnya yang kelak juga akan kembali kepada orang tua beserta bunganya. Rintik hujan bukan halangan untuk pergi (dengan jalan kaki) demi memperoleh sesuatu yang dibutuhkan. Selain itu, memberikan semangat dan kemampuan menghayati panas dan dingin atau keadaan lain sebagai karunia Tuhan Yang Maha Memberi Nikmat dengan Adil.

Alhasil, komunikasi kita sehari-hari mempengaruhi kematangan anak, mempengaruhi pendidikan anak. Komunikasi bersama anak ini baik dari cara kita berkomunikasi maupun isinya. Jika peribahasa mengatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa, maka komunikasi menunjukkan ‘’bagaimana kita’’ sehingga seperti itulah anak mengidentifikasi. Komunikasi dilakukan antara lain melalui bahasa. Sebaik apapun kita berkomunikasi, bila isi yang kita komunikasikan itu kurang baik maka hasil akhirnya kurang baik. Karena komunikasi merupakan fungsi skunder dari bahasa sedangkan fungsi primernya ialah sebagai alat untuk mengungkapkan pola pikir, budaya dan cara hidup golongan pemakainya. Yang indah itu bahasa dan yang elok itu budi !

Apabila cinta telah tertanam di dalam dada, maka ia menuntut tindakan nyata untuk terus diupayakan agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat boleh jadi kita sering lupa bahwa natur manusia itu adalah pembelajar. Ia hidup, mulai di dalam kandungan, lahir ke muka bumi, menjadi balita, lalu kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan kemudian meninggal dunia. Dalam keseluruhan proses itu pembelajaran adalah hal terpenting yang berarti bahwa manusia itu hidup untuk belajar.

Bila Anda berhasil melihat ketaklengkapan dan kekurangan artikel ini serta sekalian melengkapinya, berarti Anda adalah orang yang sangat cerdas. Tapi bila Anda tidak merasa dicerdaskan sedikitpun, itu berarti sayalah yang kurang cerdas, sedikitnya kurang cerdas dalam hal penalaran dan verbal. Doakanlah supaya saya tambah cerdas. Dengan berbuat demikian, kecerdasan etis-spiritual Anda akan ditingkatkan. Artinya upaya mendengar/membaca artikel ini sama sekali tak sia-sia. Mudah-mudahan saya bisa mengungkapkan pikiran saya dengan jelas.

Sumber Bacaan:

Adhim, Mohammad Fauzil. 2001. Kado Pernikahan untuk Istriku. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Covey, Stephen. R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta : Binarupa Aksara.

Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonbahasa. Jakarta : Diksi Insan Mulia.

Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. Yogyakarta : Gradien.

____________. 2003. Refleksi : Meraih Kepenuhan Diri. www.pembelajar.com

Hassan, Rieny. 2004. ‘’Putus Asa karena Merasa Gagal Mendidik Anak’’ dalam Nova no. 863/XVII 12 September 2004.

Jansen Sinamo. 2003. Sukses dan Kecerdasan. WorkEthos Training Center www.institutmahardika.com

Marshall, Ian dan Danah Zohar. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.

Najati, M. Utsman. 2003. Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi. Jakarta: Hikmah.

Ratih. 2004. ‘’Cara Pintar Mengurus Anak’’ dalam Nova no. 863/XVII 12 September 2004.

Ratih, Ayu. 2004. Memperjuangkan Ruang Perempuan dalam Perkawinan. www.sekitarkita.com